Waktu itu lumayan juga tanaman "gratisannya", ada 30 serai, 27 pandan, Â 15 pepaya dan 20 kelapa hijau siap ditanam.
Diluar dugaan hanya dalam hitungan dua jam, seluruh tanaman itu "ludes" diambil para tetangga. Entah mengapa saya begitu gembira dan merasa seperti "ketagihan".
lantas kebiasaan sambilan itu saya lakukan kala berkebun di Sabtu-Minggu, menjadi "healing". Saya tak harus ngotot menyebarkan di media sosial, karena dari mulut ke mulut saja informasinya menyebar, toh ini juga kerja iseng.
Putri saya Aisya mengusulkan sambil bercanda, nama kebun saya itu "Kebun Ikhlas-alias kebuni--Ekolit", lantaran tanaman dalam kebun itu dibagikan gratis, dan cocok saat ekonomi sulit sekarang ini.
Apalagi putri saya tahu, jika hampir seluruh bagian dari apa yang kami kerjakan itu hanya memanfaatkan apa yang ada di lingkungan, dan hanya membutuhkan modal, waktu tenaga, dan tentu saja "keikhlasan" berbagi, selainnya semuanya "gratis!".
Memangnya bagaimana sih cerita di balik kebun ikhlas itu?
Kebetulan saya membimbing anak-anak dalam sebuah lomba karya tulis ilmiah, yang mengharuskan mereka membuat penelitian kecil-kecilan. Kami mendapat izin akses ke "gunung sampah" di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), disana sampah diolah dengan cara komposting.
Nah apa itu komposting?. Cara mengolah sampah organik menjadi pupuk tanaman dengan cara mencampurkan sampah-sampah dapur seperti sayur-sayuran, buah-buahan dan sampah yang bisa membusuk lainnya ditambah serbuk kayu atau daun-daun kering dengan perbandingan 1:1 ke dalam wadah pembuatan kompos yang disebut komposter.Â
Setiap hari dilakukan pengadukan hingga diperoleh hasil setelah 8 minggu. Hasil akan terlihat seperti tanah yang berwarna hitam dan tidak berbau.Â
Cara itu dipilih karena bisa mengurangi sampah rumah tangga sebanyak 60%, memperbaiki kualitas dan kimia tanah agar meningkat kesuburannya, menghemat uang untuk pupuk, lingkungan bersih, dan tentu saja menjaga alam lestari.
Ternyata cara itu sangat mudah diadopsi di rumah. Dengan beberapa tambahan bahan berupa kotoran dari ternak. Tapi jika tidak ada cukup dengan cara komposting sudah cukup ditambah sisa daun dari kebun, juga bisa.
Kebetulan saya tinggal di daerah pinggiran, dimana sebagian masyarakat masih memiliki ternak, sehingga bahakn baku kompos berlimpah. Bahkan petugas sampah keliling di komplek bersedia membantu.