Pemandangan anak-anak yang kurus kering di beberapa bagian wilayah negara kita yang terekam kamera televisi dan media membuat kita prihatin, mengingat negeri kita adalah negeri gemah ripah loh jinawi--tongkat kayu dan batu saja bisa jadi tanaman, begitulah menurut lagu grup Band Koes Plus yang populer di tahun 80-an.Â
Maknanya bahwa tanah negeri kita sangat subur, tongkat kayu (ubi kayu), dan batu (ubi jalar) tumbuh subur sebagai penghasil protein dan karbohidrat yang bisa tumbuh dimana saja (selama ditanam).
Menanggapi kasus stunting yang seolah tidak habis-habisnya di Indonesia, membuat kita harus memikirkan, apa masukan kritis yang bisa kita lakukan terhadap langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah untuk menekannya.
Apakah ada kebijakan yang salah, tumpang tindih atau justru tidak tepat sasaran. Bisa jadi informasi yang sampai ke pusat dan kemudian dijadikan model atau proyek memang masih salah sasaran atau tidak tepat pada akar masalahnya, sehingga kasus stunting masih saja terjadi.
Tidak seperti halnya jenis penyakit yang endemik, kasus stunting mungkin lebih pada penggunaan kebijakan yang tidak sepenuhnya tepat.
Statistik PBB 2020 mencatat, lebih dari 149 juta (22%) balita di seluruh dunia mengalami stunting, dimana 6,3 juta merupakan anak usia dini atau balita stunting adalah balita Indonesia. Menurut UNICEF, stunting disebabkan anak kekurangan gizi dalam dua tahun usianya, ibu kekurangan nutrisi saat kehamilan, dan sanitasi yang buruk.
Saat ini, prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,6%, sementara target yang ingin dicapai adalah 14% pada 2024. Untuk itu, diperlukan upaya bersama untuk mencapai target yang telah ditetapkan, salah satunya dimulai dari unit terkecil dalam masyarakat, yakni keluarga.
Isu stunting di Indonesia telah menjadi perhatian serius, mengingat dampaknya yang luar biasa terhadap generasi kita. Sehingga kita harus mengevaluasi sejauh mana program ini mencapai sasaran dan seberapa tepat standar menu yang digunakan dalam upaya pencegahan stunting.
Menggali Akar Masalah-Inklusifitas Program
Stunting ternyata bukan sekadar masalah fisik, tetapi juga termasuk aspek-aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan masyarakat. Penting untuk tahu akar masalah ini sebelum merinci langkah-langkah pencegahan. Kondisi ini bukan hanya dipengaruhi masalah gizi, tetapi juga masalah lingkungan, pendidikan, dan aksesibilitas layanan kesehatan.
Artinya kondisi ekonomi yang rendah, sebagaimana adanya kasus kemiskinan ekstrim yang menimpa sekitar 5 jutaan penduduk Indonesia yang sedang berusaha ditanggulanginya oleh Pemerintah dengan program percepaan penuntasan hingga tahun  2024 mendatang.
Kondisi kemiskinan itu relate dan memiliki keterkaitan kuat dengan adanya kasus stunting. Ketidakmampuan rumah tangga menyediakan kebutuhan pokok, dan kesehatan menyebabkan jumlah asupan gizi yang diperoleh oleh ibu-ibu terutama para ibu hamil dan anak-anak paska dilahirkan menjadi sangat kurang karena tidak dapat menjangkau pemenuhan gizi yang standar dan baik. Karena pemberian Air Susu Ibu (ASI) jika si ibu sendiri juga mengalami kekurangan gizi juga akan berdampak pada komposisi ASI-nya.
Pemberian makanan bayi yang tradisional, meskipun dianggap sebagai tradisi turun temurun juga tidak sepenuhnya tepat. Seperti pemberian makanan padat, padahal usia bayi masih kecil, menyebabkan sistem pencernaannya secara tidak langsung terganggu.
Memang dalam jangka pendek dampaknya tidak terlihat, namun dalam jangka panjang menyangkut masa pertumbuhan seluruh bagian tubuh-otot, tulang sangat terpengaruh oleh asupan gizi yang diterimanya. Dan kondisi ekonomi yang rendah dapat menghalangi terpenuhinya kebutuhan tersebut.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya