Anak yang Terlantar, Kelompok yang tak kalah rumit dari anak jalanan, karena mereka tidak memiliki asuhan keluarga atau terlantar dari rumah, sehingga ketersediaan sarana perlindungan, pemenuhan hak-hak dasar, dan perawatan bagi anak-anak yang terlantar menjadi sangat krusial.
Anak Perempuan, ini bukan hanya persoalan terkiat gender atau jenis kelamin saja, akreana kelompok anak perempuan memiliki tantangan khusus dalam mengasuhnya dan seringkali berada dalam risiko tinggi dari serangan kekerasan dan eksploitasi.
Anak Migran, kelompok anak yang berpindah tempat tinggal atau negara demi mencari pekerjaan atau karena alasan lainnya. Akses layanan dan perlindungan bagi anak-anak migran menjadi kebutuhan penting mereka.
Dengan memahami sasaran yang menjadi substansi dari kerja-kerja membangun KLA, program dan kebijakan yang ditetapkan bisa lebih tepat sasaran untuk memastikan bahwa setiap anak memiliki hak-hak yang dihormati dan terlindungi dengan sebaik-baiknya.
Ada Aa Dengan KLA,?
Tentu saja banyak pertanyaan kita yang muncul, apa kelemahan dan akar masalah mengapa meski program Indonesia Layak Anak pada tahun 2030 menargetkan tercapainya 514 Kota Layak Anak (KLA) dan terlindunginya 87 juta anak, namun pada tahun 2022 belum ada satupun KLA yang mencapai standar KLA mutlak.Â
Pencapaian tertinggi di tahun 2022 baru diraih oleh 8 kota atau kabupaten yang tergolong dalam kategori Utama. Seolah menjadi sebuah jawaban mengapa KLA belum merata dilaksanakan. Apakah pemahamannya yang masih kurang atau keterlibatan para pihak yang masih belum menyentuh masalah yang menjadi kebutuhan mendasar.
Apakah KLA bisa diwakili hanya sekedar tersedianya tempat bermain layak anak?.
Tak semua Pemerintah Daerah bisa memenuhi prasyarat sebuah KLA, jika masalah yang menjadi dasar kebutuhan menciptakan KLA tidak bisa dipenuhi dengan benar.
Masalah keterbatasan sumber daya, baik keuangan, manusia, infrastruktur, maupun teknologi, menjadi salah satu kendala. Apalagi saat pandemi dua tahun lalu ketika dana pembangunan diprioritaskan untuk mengatasi masalah pandemi. Â Mewujudkan KLA yang ideal juga memerlukan investasi yang besar dalam banyak sisi, mulai dari pendidikan, kesehatan, lingkungan, termasuk seperti tersedianya fasilitas pendukung KLA, seperti ruang bermain.
Birokrasi juga bisa menjadi kendala yang kompleks, karena  prosedurnya tidak mudah dan bisa menghambat pelaksanaan program KLA. Ada yang bercanda, bahwa untuk mengambil satu kebijakan saja, akan butuh banyak seminarnya. Karena kendala birokrasi bisa menyebabkan proses pengambilan keputusan dan implementasi program menjadi lamban.
Kesadaran dan komitmen masih menjadi barang langka dalam mewujudkan KLA. Tidak semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta, mungkin punya kesadaran dan komitmen yang sama terhadap pentingnya menciptakan KLA. Jika ini terjadi makabisa menghambat kolaborasi dan kerjasama dalam mewujudkan tujuan tersebut. Ini juga berkaitan dengan bagaimana pengawasan dan evaluasi yang ketat terhadap program KLA bisa menyebabkan kurangnya akuntabilitas dan kesadaran terhadap kelemahan yang harus diatasi.
Belum lagi soal tantangan geografis dan demografis karena beberapa daerah mungkin menghadapi tantangan khusus, seperti akses terbatas ke wilayah terpencil atau tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Ini sebenarnya juga menjadi jawaban langsung mengapa KLA masih berjalan efektif hanya di kabupaten atau kota kategori utama, sedangkan wilayah dibawahnya masih lamban berjalan atau tidak terlaksana sama sekali.