Sebenarnya selain rumitnya masalah kebiasaan kita membakar sampah, membuang sampah sembarang masih menjadi kebiasaan yang umum. Sebabnya karena adanya fenomena Not In My Back Yard alias NIMBY. Ketika kita menganggap sampah yang harus diurus hanya sampah yang ada di rumah kita, membuat kita merasa tak bertanggungjawab dengan urusan sampah di sekeliling kita.Â
Ketika kita berprinsip NIMBY, maka membakar sampah menjadi bukan masalah penting. Toh, dengan dibakar sampah hilang, dan rumah bersih. Soal asap, itu hanya "gangguan" sementara. Jika sampah ludes dimakan api, asap juga hilang pergi. Padahal bahaya besar mengintai dari kebiasaan kita membakar sampah!.
Bahaya Pembakaran Sampah
Tapi sebenarnya persoalannya tidak sesederhana itu. Mengapa kita tidak disarankan atau "dilarang" membakar sampah?.
Sebab praktik membakar sampah, seperti yang kita pelajari di sekolah, menjadi sebab tersebarnya emisi gas beracun dan partikel berbahaya ke udara.Â
Sampah apapun jenisnya yang terbakar menghasilkan zat penyebab polusi udara atau polutan. Yang umum kita ketahui tentu saja karbon dioksida (CO2). Selain itu asap hasil pembakaran juga mengandung karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2), dan partikel halus (PM10 dan PM2,5).Â
Belum lagi jika sampah yang kita bakar bukan organik, seperti karet, plastik dan sejenisnya. Emisi ini bisa merusak kualitas udara, bikin cemar lingkungan, dan menjadi penyebab rusaknya ekosistem.
Dampak secara langsung tentu saja pada kesehatan kita. Gas dan partikel berbahaya dari pembakaran sampah, paparan atau dampaknya untuk jangka panjang terhadap polutan udara seperti partikel halus dapat menjadi pemicu penyakit pernapasan, alergi, iritasi mata. Polutan udara yang dihasilkan oleh pembakaran sampah dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular (gangguan jantung dan pembuluh darah) dan gangguan pernapasan.
Konon lagi jika disekitar kita ada tetangga yang mengidap asma, atau memiliki balita bisa menimbulkan problem baru. Jika tidak timbul penyakit, kita bisa berurusan-rusuh dengan tetangga.
Lebih jauh lagi jika berbicara akibatnya pada perubahan iklim, pembakaran sampah ternyata juga menjadi penyumbangnya. Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan, seperti CO2 dan metana (CH4), menjadi sebab mengapa timbul pemanasan global dan perubahan iklim.Â
Jadi semakin sedikit aktifitas kita membakar sampah, kita juga andil mengurangi emisi gas rumah kaca dan membantu memperlambat perubahan iklim yang tidak diinginkan.
Jangan dibayangkan sampah yang kita bakar jumlahnya hanya sedikit. Jika setiap rumah melakukan aktifitas yang sama, begitu juga pabrik, atau aktifitas lain seperti pertanian yang sering membakar limbah jeraminya, maka jumlah asap yang masuk ke atmosfer juga semakin banyak.Â
Barangkali kita pernah melihat asap cerobong pabrik pembangkit nuklir di beberapa negara di Eropa, Eropa Timur, China, asapnya begitu besar membumbung ke udara.
Kebiasaan membakar sampah juga pertanda kurangnya sistem pengelolaan sampah yang efektif. Biasanya ini terjadi jika tidak ada fasilitas pemrosesan sampah yang baik, atau ketika kita tak punya kesadaran atau tak punya akses untuk solusi pengelolaan sampah yang lebih baik.
Belum lama ini, seorang tetangga yang tak sengaja membakar sampah dan kemudian apinya merembet ke bagian lain rumah menyebabkan kendaraannya terbakar. Membakar sampah memang punya risiko menjadi penyebab kebakaran yang serius.
Dengan begitu banyak masalah, penting bagi kita untuk mengganti praktik pembakaran sampah dengan solusi pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan, seperti pengurangan sampah, daur ulang, pengomposan, dan bukan tidak mungkin pemanfaatan sampah untuk energi terbarukan. Meskipun ini bukan solusi baru, namun kesadaran kita untuk melakukan hal tersbut masih rendah.
Sekolah Sebagai Agen Perubahan
Di sekolah saya, ada ruangan khusus untuk memilah sampah. Kesadaran yang telah dibangun dari sekolah berupa kebijakan yang ketat, menyebabkan para siswa, meski pada awalnya terpaksa, pada akhirnya harus mematuhi aturan. Tentu saja, jika tak mau mendapat sanksi.
Mengapa harus dari sekolah? Coba perhatikan anak-anak kita dari setingkat Sekolah Dasar, hingga sekolah menengah, lebih "takut" dengan aturan sekolah daripada aturan di rumah yang seringkali masih punya toleransi kalau soal hukuman.
Karena problem sampah terutama kebiasaan membakar sampah, menjadi tanggungjawab komunal, bukan hanya personal, maka membutuhkan perhatian serius dari semua pihak, termasuk sekolah. Penting bagi sekolah untuk mengambil tindakan konkret untuk mencegah praktik pembakaran sampah.
Mengenalkan Kesadaran Lingkungan
Tentu saja memahami konsep kesadaran lingkungan menjadi hal yang penting pada mulanya. Bahwa kita hidup dalam sebuah lingkungan, ekosistem yang saling memiliki ketergantungan. Bahkan sebuah pohon memiliki arti penting. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Singapura, penghijauan pada satu hektar lahan ternyata dampaknya luar biasa.
Menurut seorang peneliti lingkungan, Joga, "Sebagai perbandingan, satu hektar RTH mampu menetralisasi 736.000 liter limbah cair hasil buangan 16.355 penduduk; menghasilkan 0,6 ton oksigen guna dikonsumsi 1.500 penduduk per hari; menyimpan 900 m3 air tanah per tahun; mentransfer air 4.000 liter per hari atau setara dengan pengurangan suhu lima sampai delapan derajat Celcius, setara dengan kemampuan lima unit alat pendingin udara berkapasitas 2.500 Kcal/20 jam; meredam kebisingan 25-80 persen; dan mengurangi kekuatan angin sebanyak 75-80 persen." (Jga-2004). Bukankah hal itu laur biasa?.
Pendidikan Lingkungan Untuk Semua
Salah satu kebijakan yang bisa dilakukan oleh sekolah adalah memperkuat pendidikan lingkungan. Menjadikan tanggungjawab menjaga lingkungan menjadi tugas semua orang. Bahkan materi tentang ini bisa kita tambahkan dalam pembelajaran tentang pengelolaan sampah, dampak negatif pembakaran sampah, serta pentingnya mempertahankan lingkungan yang bersih dan sehat. Bentuknya bisa masuk dalam kurikulum atau melalui kegiatan eskul yang fokusnya  pada pelestarian lingkungan.
Kampanye Sampah dan Daur Ulang
Sekarang ini semakin banyak sekolah yang mempromosikan pengurangan sampah dan daur ulang di lingkungan sekolah dengan menyediakan tong sampah terpilah. Atau menggunakan keranjang berukuran besar khusus untuk menampung sampah plastik secara khusus. Â Sistem ini menjadikan kebiasaan membuang sampah lebih efektif, karena langsung terpilah
Apalagi jika sekolah telah memiliki area khusus pengelolaan sampah sekolah. Sehingga  program daur ulang, seperti mengumpulkan kertas bekas, botol plastik, atau barang-barang bekas lainnya dimanfaatkan untuk kriya atau di jual ke pemasok bisa lebih efektif. Selain jumlah sampah berkurang dan kemungkinan pembakaran sampah juga akan berkurang.
Join Dengan Komunitas
Sekolah juga bisa menjalin kemitraan dengan pemerintah setempat seperti DLHK3 atau dengan komunitas untuk mencegah kebiasaan membakar sampah. Bisa saja pemerintah memberikan dukungan dengan menyediakan fasilitas tong sampah atau kontainer, atau kerjasama dengan organisasi lingkungan atau komunitas dengan kegiatan sosialisasi, pelatihan, atau kampanye anti-pembakaran sampah.
Bikin Aturan dan Sanksi
Karena aturan sekolah seringkali lebih efektif dipatuhi para siswa, maka wujud kebijakan yang tegas dari sekolah perlu ditetapkan berupa sanksi bagi pelanggaran terkait pembakaran sampah. Aturan ini harus dipahami oleh seluruh siswa dan guru serta karyawan di sekolah. Sanksinya harus proporsional dan konsisten, sehingga bisa memberikan efek jera dan mendorong pelaku mengubah perilakunya.
Menjadikan Siswa sebagai Agen Perubahan
Beberapa tahun terakhir kami mengikuti lomba yang diadakan oleh DLHK3. Salah satunya adalah lomba karya tulis,namun juga menyertakan produk sebagai solusinya. Meskipun produk yang kemudian dikembangkan seperti tong sampah kreatif, tas ulang pakai, namun dampaknya ternyata lumayan efektif untuk mengurangi kebiasaan NIMBY dan terutama kebiasaan membakar sampah.
Bahkan saat gotong royong yang biasanya selalu diakhiri dengan membakar sampah organik, kini mulai dialihkan pada proses pembuatan kompos. Manfaatnya kompos untuk kebutuhan taman sekolah, termasuk taman yang dirawat oleh siswa di depan kelas masing-masing.
Sekolah harus mendorong siswa untuk menjadi agen perubahan dalam mencegah pembakaran sampah. Siswa dapat diberdayakan untuk memimpin kampanye lingkungan, mengorganisir kegiatan sosialisasi, dan mengawasi penerapan kebijakan anti-pembakaran sampah di lingkungan sekolah.Â
Dengan semakin banyaknya siswa yang memahami pentingnya peran individu dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan, kebiasaan ini juga akan menular di rumah dan dilingkungannya.
Bahwa mencegah pembakaran sampah di lingkungan rumah, di sekolah adalah tanggung jawab bersama yang memerlukan kebijakan dan pembiasaan.Â
Meski awalnya melalui bentuk sanksi yang tegas, namun tujuannya tidak lain membangun kesadaran alias meng-internalisasikan kebiasaan positif tidak membakar sampah ke dalam pola berpikir para siswa.
Kebijakan lain  oleh sekolah, seperti pendidikan lingkungan yang komprehensif, promosi pengurangan sampah dan daur ulang, kemitraan dengan pemerintah dan komunitas, penegakan aturan dan sanksi, serta pengembangan peran siswa sebagai agen perubahan pada akhirnya merupakan bagian dari proses. Membangun kesadaran lingkungan yang lebih baik di kalangan siswa dan mencegah praktik pembakaran sampah yang merugikan lingkungan dan kesehatan manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H