Dikutip dari Today in History, senja menjelang malam, pada 15 Juni 1896, gelombang besar menerjang pesisir Sanriku, Pulau Kinkwazan. Tsunami diawali gempa bumi bermagnitudo 8,5 sekitar 166 kilometer (103 mil) lepas pantai Prefektur Iwate, Honshu. Getarannya memicu dua tsunami yang menghancurkan sekitar 9.000 rumah dan menyebabkan setidaknya 22.000 kematian. Ombaknya mencapai 38,2 meter. Tiga provinsi, yakni Rikuzen, Rikuchu, dan Rukuoku tenggelam diterjang gelombang yang ketinggiannya mencapai 100 kaki atau 30 meter. Menerjang 9.313 rumah hingga hanyut dan menghancurkan puluhan ribu kapal pesiar dan perahu nelayan.
***
Pagi 26 Desember 2004 Cut Gam sedang menikmati buku The Physics Behind the Wave, tentang tsunami dahsyat di Jepang, ditemani secangkir kopi. Langit cerah di atas kampungnya di Punge Blang Cut di pinggiran kota. Tapi ia terperanjat ketika melihat langit di penuhi kawanan bangau, ribuan jumlahnya. Seperti melihat de javu, Cut Gam berkeringat dingin tiba-tiba. Ia hampir terlompat dari kursi, karena tiba-tiba bumi di bawahnya berderak.
Bergegas masuk rumah menggendong putri semata wayangnya dari kamar yang masih tertidur lelap, dan berteriak meminta istrinya segera keluar, dan berusaha menarik secepatnya ke mobil. Ia menekan gas, dan mobil sedikit terbanting ketika keluar dari halaman rumah.
Di kejauhan ia melihat pantai di belakang rumahnya menghilang, syak swasangkanya tentang tsunami benar, jadi ia membunyikan klakson di sepanjang jalan dan berteriak tsunami!, begitu terus berulang sepanjang jalan ke arah kota yang berbatas dengan bukit batu cadas Gle Genting. Tapi tak ada yang merespon, karena 18 tahun lalu bencana tsunami tak pernah ada di benak siapapun di Indonesia, apalagi di Aceh.
Kini setiap kali duduk diteras rumah dan matanya tertumbuk pada dinding tegak setinggi sepuluh meter, lebih tepatnya buritan kapal, ia tak habis pikir, bagaimana kapal PLN seberat 2600 ton bisa sampai di depan halaman rumahnya.
Berkah atau Bencana?
Tsunami besar Desember 2004 menghempas kuat kapal raksasa itu sejauh 5 kilometer menerjang apa saja seperti kapal Titanic menabrak gunung karang es. Sebagian kampung itu dalam sekejap di sapu bersih.
Ia tak tahu persis harus mengatakan apakah kehadiran kapal raksasa itu menjadi bencana atau berkah?. Karena pemerintah tak punya kuasa untuk memindahkan kapal raksasa seberat 2600 ton dari tempatnya semula.
Akhirnya dipilih jalan tengah, para korban yang rumahnya tertimpa kapal direlokasi, sedangkan kapal dibiarkan tetap disana, menjadi 'Situs sejarah tsunami". Dengan keputusan itu, Gampong Punge Blang Cut ditetapkan oleh Wali Kota Banda Aceh sebagai " Gampong Wisata".
Bagaimana mencapainya kesana?
Jika kamu turun di bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, maka butuh waktu 40 menit untuk sampai situs itu. Tapi jika kamu dari luar kota seperti Medan dapat ditempuh langsung dari Terminal Bus dan Mini Bus Batoh, hanya berjarak sekitar 5 kilometer.
Tapi jika melalui jalan pelabuhan , bisa singgah dipelabuhan intersuler Ulhe Lhee, dan dari sana hanya berjarak 3 kilometer, tepat di pintu keluar jalan besar Ulhe Lhee.
Semua jalur akses ke objek kampong wisata itu sangat mudah karena kampong wisata itu berada di pinggiran kota tepatnya di Kecamatan Meuraxa berjarak 5 kilometer dari kota dan terjangkau semua jenis kendaraan, termasuk becak mesin.