Perempuan itu tidaklah sanggup menahan air mata yang hanya menitik satu sua tiga butir. Seseorang telah menyakiti hatinya. Seorang yang sangat kuat. Tak kuat dia melawan. Pun tak ingin. Hanya saja dia berpikir. Bagaimana cara melepas jerat yang terlanjur mengikat.
Sejak awal  tiada dia menaruh syak kepada orang nomor satu yang tampak telah sangat akur. Begitu dia mengajukan sebuah pertanyaan, tak usah menunggu waktu lama lawan akan segera menggerus.  Dia merasakan inilah akhir perjalanannya yang baru separuh atau yang sudah separuh.Â
Hanya doa yang dicobanya untuk menyelesaikan semua kecamuk dalam hati. Diambilnya saputangan jingga yang telah lama disimpan dalam laci pada susunan palin atas.
Aksara yang berderet rapi menjadi goresan cinta, sungguh menyelubungi hatinya. Â Masih indahkah, atau meenghadirkan luka yang sangat dalam. Untaian persahabatan indah telah kusut tak jelas lagi, mana ujung atau pengkalnya.Â
Sebenarnya perempuan dengan setitik air mata yang mengalir di atas kulit yang membalut pipinya, masih ingin berbagi rasa bahagia. Namun hatinya telah berubah warna, dari ceria menjadi kelabu kelam.Â
Dia mencoba membiarkan semua terkubur, dalam tidur membendung air mata sendu yang selalu ingin berderai. Malam belum larut, tetapi biarlah ada mimpi menyambut. Mungkin hari esok akan lebih bahagia. Bukankah tadi cucu mengatakan akan singgah ke rumahnya?
Bumi Matkita,
Bandung, 06/12/2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H