Perumahan loji di Pabrik Gula (PG) sudah banyak yang kosong. Entah mengapa karyawan pabrik enggan tinggal di komplek lagi. Padahal bekas perumahan Belanda itu masih kokoh. Magrong-magrongnya jadi seperti rumah hantu.Â
Deretan pohon cemara berjejer. Dulu memang membuat asri bagian perumahan yang disebut Kampung Cemara. Tapi sekarang sejuknya masih, tapi penampakannya seram.
Mbah Karji masih sering melamunkan kehidupannya di PG. Sebagai orang kampung yang dipakai ndoro Sastro sebagai kuncen kantor, memang membawa berkah. Diawali dari kerja sebagai kuncen yang rajin itulah mbah Karji bisa jadi pegawai negeri. Jaman itu belum disebut PNS, apalagi ASN.Â
"Ah udah tidak mengerti istilah-istilah itu," kata mbah Karji kepada anak perempuan  yang tempat dia ngenger sekarang.Â
"Wis pak, jangan ingat-ingat masa lalu terus," kata mbak Darmi anaknya.
"Ya mbah kan sekarang ada aku," sambung Arda cucunya yang sangat disayang dan menyayangi mbah Karji.
Dipeluknya cucunya yang baik, sambil mengenang  istrinya. Saat mbah Karji sudah diangkat sebagai pegawai negeri, keuangannya malah kurang dibandingkan saat kerja di rumah ndoro Sastro. Untungnya, keluarga ndoro Sastro masih mau menerima istrinya sebagai orang yang membantiu ndoro putri membereskan urusan rumah tangga.  Dulu disebutnya belum ART, tapi tiang wingking. Orang yang mengerjakan segala sesuatu di bagian belakang.Â
Istrinya ngepel semua rumah sambil jongkok, nyuci baju tanpa mesin cuci, masak komplit sampai tertata rapi di atas meja. Istrinya senang sekali jadi tiang wingking di rumah ndoro putri Sastro. Datang jam 5.00 pagi dan pulang jan 18.00 sore, ya bisa kurang atau lebih 10 menitan.
Setiap hari makanan kemarin boleh dibawa pulang, masih bagus dan enak semuanya. Tiap akhir bulan dapat bayaran lebih besar sedikit dari bayaran suaminya.