Mentari bersinar ceria, menyentuh wajah sendu seorang nenek. Dari kerut-merut wajahnya, tampak sisa kecantikan masa mudanya. Kekerasan hidup yang harus diwariskan kepada anak cucu, menderu bagaikan angin melaju dengan kecepatan membahana. Panas, sejuk dan dingin silih berganti. Ada yang mendidih, cair dan membeku.
Nenek Munah merupakan anak tunggal seorang anemer, selain cantik mewarisi harta yang cukup belimpah. Tetapi tetap tenang dalam kesederhanaan yang membuat banyak orang cinta kepadanya.
Aki Imran yang merupakan ayah nenek Munah adalah kontraktor bangunan, yang pada zaman penjajahan Kumpeni Belanda lebih akrab disebut dangan anemer.
Pun hidup sebagai anak perempuan tunggal yang disayang sang ayah, nek Munah jauh dari sikap manja, sombong dan pamer. Selalu bergaul dengan sopan kepada siapa saja, hormat kepada orang tua dan keluarga. Hemat dan rajin adalah ciri yang paling nampak bersinar dalam kesehariannya. Selalu menjahit sendiri baju yang disandang, memasak nasi sendiri dari beras yang dihasilkan dari sawah milik sendiri.Â
Saat ditinggalkan dalam usia kanak-kanak, nek Munah sangat bangga dengan sikap ayahnya. Sudah menuliskan dengan baik harta peninggalan yang mana untuk ibunya dan mana untuk dirinya.Â
Lain dengan ibunya yang menikah lagi dan menikah lagi hingga hartanya habis, nek Munah rajin mengolah rumah dan tanah yang warisan ayahnya. Semua untuk menumbuh besarkan anak-anaknya.Â
Sebanyak 26 rumah berjajar di sebuah jalan di kota Bandung, jalan yang hanya bisa dimasuki motor. Â Rumah-rumah mungil dalam genggaman seorang perempuan cerdas, menampakkan kesederhanaan yang tertata rapi. Sebuah rumah paling depan untuk anak-anak nek Munah yang silih berganti belajar di Bandung, lain-lainnya dikontrakkan untuk biaya sekolah anak-anaknya.
Nek Munah sangat mementingkan pendidikan anak-anak. Menurut pandangan seorang nek Munah, hanya pendidikan membuat anak-anaknya akan  bahagia. Begitu juga dirinya sendiri, yang akan bahagia bila harapannya tercapai.
Sawah terhampar bagaikan permadani alam yang indah di Sumedang, berhiaskan bulir-bulir padi yang hijau menguning. Sebagai bekal makanan yang membuat nek Munah dan keluarga bisa hidup sehat. Â
Setiap malam minggu dan hari minggu, salah satu dari anak-anak yang di Bandung selalu ada yang pulang ke Sumedang. Selain menengok orang tua, juga mengambill makanan. Hasil masakan nek Munah untuk semua anak yang sekolah di Bandung sebagai bekal hidup seminggu ke depan, dan begitulah kehidupan rutin nek Munah di masa anak-anaknya sekolah.
*****