Saat itu aku hanya bertemu dengan ibu, sebagai calon mertua. Ayah calon mertua telah ada di surga. Terima kasih, telah merelakan putra terbaikmu untuk menjadi pendamping hidupku.Â
Ukiran yang telah ibu goreskan pada seluruh alam pikir putramu. Membuat indahnya hidup kami berdua. Sejak sebuah hari yang dinamakan pernikahan. Hingga saat ini, masa penuh gejolak pandemi covid-19.
Independensi tinggi, itu ciri utama putramu. Yang kebetulan sama seperti ayahku. Hanya beda nasib, dan beda perilaku.
Berani berkarya jauh dari keluarga, di sebuah daerah pelosok di Indonesia. Itu persamaannya, perbedaannya tak perlu ibu pikirkan.
Betapa putramu mengagumi ibunya, dan mengajarkan anak-anakku untuk hanya menghormat ibunya.Â
Dari sejak kelahiran anak-anak, hingga sekarang sesudah kehadiran cucu-cucu. Jadilah betapa anak-anak juga merupakan insan dengan independensi tinggi.
Shio kita yang sama ular, membuat kita sama saling menjaga daerah teritori masing-masing. Tak pernah ada kata kenapa aku begitu terhadap ibu, atau sebaliknya mengapa ibu begini terhadap aku.
Kini aku sudah seumur ibu saat pertama kita jumpa. Bahkan mungkin lebih tua. Aku tak mungkin seperti ibu. Karena semua adakku perempuan. Semua menantu laki-laki.Â
Biarlah apapun mereka menganggap aku sebagai calon mertua, ataupun sudah mertua. Aku tetaplah memiliki shio ular, yang menjaga daerah teritori.Â