Pandanganku mendadak kabur. Bukan karena cuaca yang panas di hari ke-13 Ramadan, melainkan tubuhku yang tiba-tiba lemah. Isu PHK masih menempel di telinga. Obrolan orang-orang di kantin yang kudengar tiga hari lalu menyebutkan: PHK hanya untuk pegawai yang masa kerjanya di bawah 5 tahun. Saat itu aku merasa sedikit lega. Dengan mengantongi masa kerja hampir 10 tahun, aku tak perlu mengkhawatirkan PHK yang santer terdengar itu.
Namun, kenyataannya, ada namaku di sana. Tenggorokanku kering, ingin berteriak, tetapi tenagaku seolah habis. Aku melemah. Jika tidak ditopang Pion tadi, mungkin aku sudah tumbang.
Mengapa aku terjaring PHK? Dadaku sesak. Otakku belum bisa fokus mengajak kaki pergi dari halaman pabrik seperti yang lain.
Aku menyandar pagar di pintu barat pabrik. Sendirian. Pion sudah pulang. Dia hanya menitip pesan supaya aku ikhlas dan sabar. Percuma meratapi takdir, kertas pemutusan hubungan kerja itu tidak bakal berubah, katanya.
Entahlah. Aku belum ingin pulang. Bukan untuk mengucapkan selamat tinggal dan menyanyikan lagu perpisahan pada pabrik ini, bukan. Sebenarnya aku tidak memiliki cukup keberanian untuk mengatakan kabar PHK ini.
Aku melihat Pak Pambudi berjalan gontai sambil mengibas-ibaskan amplop. Dia melintas di depanku.
"Pak Royan, belum pulang? Sudah sore, Pak. Bentar lagi buka puasa."
Aku hanya menggeleng. Dia menghampiriku dan menepuk pundak. Seolah pria ini ingin memberiku ketenangan. Memberi kekuatan. Padahal, dia juga bernasib sama. Sama-sama korban PHK.
"Kita pulang saja, Pak. Pihak manajemen tidak akan mengubah keputusannya. Mereka mempertahankan usia produktif, bukan seperti kita. Karyawan yang sudah tua dimakan umur."
Aku terdiam. Otakku mengolah informasi terbaru tentang PHK kali ini. Jadi bukan masa kerja, tetapi usia karyawan. Aku memejam sejenak. Kepalaku menggeleng. Ini sungguh tidak adil.