Prolog
Ranting pohon di samping jendela bergerak disentuh sang bayu. Siang menjadi sejuk karena kehadirannya.
Terpaan angin siang itu menggulingkan dedauan yang jatuh dan mengering di tanah. Dia terpisah dari ranting pohon dan berkalang tanah. Ranting terus bergerak bersiap menggugurkan dedaunan yang telah sampai waktunya.
Dan daun tak akan marah pada angin yang menerbangkannya, menjatuhkannya, dan membuatnya mengering. Barangkali itulah takdirnya.
Seperti aku yang masih di sini bersamanya. Menemani masa tuanya, dalam kesendirian yang tak berujung.
Memeluk malam berirama sepi ditabuh sunyi. Aku juga sama, bersamanya aku tersisih dari kehidupan, terpenjara dalam masyarakat yang meragukan akidahku. Bahkan keluargaku sendiri, tempat di mana aku seharusnya berada.
Aku masih bersandar di kursi kayu depan jendela kamar. Setiap aku rindu ayah ibu, aku selalu duduk melamun di sini, depan jendela besar khas rumah tua.
Ranting pohon di samping jendela masih bergerak mengiringi sebait lamunanku siang itu. Di luar terasa sejuk, walaupun mentari menyapa hari tepat sepenggalan. Barangkali karena angin yang hadir menyejukkan.
Bagiku ini mengingatkan aku padamu. Ketika kakimu memilih menjauh dan pergi tanpa kabar. Kamu, juga saudaraku, ayah ibuku, semuanya sama menilaiku. Kalian ternyata tidak cukup baik mengenalku, sekalipun ibu yang melahirkan aku.
Hembusan napas yang keluar seperti membuang bongkahan rasa yang mendesak kuat. Himpitan ini terus terjadi dan aku tidak tahu pasti kapan waktu menghentikannya. Ingin kuraih masa itu kembali, agar kamu juga ikut terbawa arus kerinduanku. Kerinduan tak berujung, karena masih kurasakan hingga kini.
#gracindostoryinc