Mendengar pertanyaanku, Ibu menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengumpulkan baju-baju kotor milikku.
Ibu menoleh ke arahku dan menatapku tajam. Mata itu seolah berbicara banyak hal, namun hanya  ada satu pesan yang disebutkannya.
"Tugasmu hanya mencari rumah kita dan menemukan koper kulit di sana."
"Koper? Koper kulit?" tanyaku sambil mengernyitkan kening.
Ibu mengangguk mantap. Keningku berkerut dan kebingungan melandaku. Apa kaitan antara koper kulit dengan mimpiku?
Ibu hanya mengutusku mencari rumahnya di Jenar setelah aku bercerita tentang mimpi-mimpi aneh yang kerap menggangguku. Cuma itu. Ibu bahkan tidak memberikan alasan mengapa aku harus menemukan rumah di Jenar.
"Kamu tahu kenapa kamu ke sini?" tanya Kakek itu mengejutkanku. Lamunanku pecah mendengar suara seraknya lagi.
"Ibu," jawabku singkat.
Kakek itu menggeleng sambil memasang kembali jaketnya.
"Bukan Sari," katanya, "tapi kamu!"
Tatapannya mendadak penuh selidik. Sorot mata tuanya menyudutkan aku. Aku terkesiap mendengar dia menyebut nama Ibu. Aku memiringkan badanku menghadapnya.
"Siapa Bapak sebenarnya ?"
"Kenapa?"
"Bapak kenal Ibu saya?"
"Siapa yang tak kenal Sari. Seluruh Jenar juga pasti tahu siapa ibumu."
Kakek itu beranjak dari duduknya melangkah menuju pintu keluar stasiun. Aku tergesa menyusulnya, dengan membawa serta tas bawaanku.
Aku berlari kecil untuk dapat menyusul dan menanyakan beberapa hal yang aku belum tahu.
"Pak!" panggilku mencegah Kakek itu terus berjalan.
Kakek itu menghentikan langkahnya lalu berputar menghadapku. Aku sempat beradu pandang untuk mencari kejujuran di matanya.
"Ada apa lagi?"
"Rumah Jenar itu milik siapa, Pak?"
"Ibu kamu."
"Lalu di mana Ayah?"
Kakek itu menatapku lekat hingga beberapa saat. Bukan menjawab, Kakek berjalan meninggalkan aku yang masih kebingungan.
#30dwcjilid14
#squad6
#day9
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H