Mohon tunggu...
susi respati setyorini
susi respati setyorini Mohon Tunggu... Guru - penulis

Pengajar yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Kala #6

27 Agustus 2018   22:15 Diperbarui: 1 September 2018   19:33 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melebarkan mata dan terkejut mendengar ucapannya. Dari mana dia tahu aku akan pergi ke Jenar untuk mencari rumahku? Ah! Siapa Bapak tua ini sebenarnya, bisikku dalam hati.

Tut ... tut ...

Kereta Bogowonto yang kutunggu sudah masuk stasiun. Aku bergegas meraih tasku dan meninggalkan Bapak tua itu. Aku menaiki tangga menuju gerbong kereta dan mencari kursi sesuai nomor tiketku.

Aku meletakkan tas jinjingku di bagasi di atas kepalaku lalu duduk dan memandang sekelilingku. Di sampingku masih kosong, artinya aku bisa duduk dengan tenang. Kedua mataku menangkap ke luar jendela. Hanya titik-titik cahaya lampu dari kejauhan yang menghiasi malam.

Seseorang baru saja meletakkan barang bawaannya ke atas, lalu duduk di sampingku. Sekilas aku menoleh. Astaga! Bapak tua tadi, batinku. Aku terkesiap menyaksikan Bapak tua itu satu gerbong denganku. Sekarang, dia duduk di sebelahku. Apa mungkin dia sengaja mengikutiku?

Sengaja aku memalingkan wajahku,  tak berani aku melihat wajahnya. Sepertinya Bapak itu juga sedang mencuri pandang denganku. Tapi aku memilih membaca novel ketimbang mengajaknya bicara.

Suara dari pengeras suara mengumumkan jika kereta akan segera diberangkatkan. Dan kereta mulai bergerak dari stasiun Senen dengan tiupan serupa suling di lokomotif sebagai tanda. Berjalan di atas rel menghasilkan liukan seperti seekor ular Piton besi melata di jalan miliknya.

Kulihat penumpang di seberang kursiku memilih tidur, sementara serombongan pemuda di kursi lain mengobrol sejak mereka pertama duduk tadi. Berceloteh tentang banyak hal termasuk membicarakan isu politik yang sedang hangat. Di barisan kursi aku duduk, aku hanya berdua dengan Bapak tua itu. Dan aku tetap membaca untuk sekadar mengisi waktu di perjalananku.

Rasa kantuk mulai menyerangku, dan aku tak kuasa lagi menahannya. Aku memperbaiki posisi dudukku, memasukkan novel ke dalam tasku dan bersiap memejamkan mata.

"Sebaiknya kamu pulang." Kembali suara Kakek tua-lebih tepat kupanggil-membuatku bergidik. Mataku terbelalak dan seketika melenyapkan kantukku. Aku terkesiap dan melebarkan bola mataku.

Apa alasannya memintaku untuk pulang? Perjalananku bahkan belum sampai separuh. Aku bergeming.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun