Nelongso, mungkin itu kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perjuangan Ibu Patmi, perempuan 48 tahun, warga desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati. Perempuan ini bersama kerabat dan sahabatnya dengan dukungan beberapa aktivis melakukan aksi menyemen kaki sebagai bentuk protes mereka atas dibangunnya pabrik semen di kabupaten Rembang.
Keputusan Patmi kembali ke Jakarta, karena secarik surat Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah bernomor 660.1/6 Tahun 2017 yang ditandatangani Kamis (23 Fberuari), yang berisi ijin lingkungan yang baru untuk PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang. Ijin lingkungan semen di Rembang ini merupakan tindak lanjut rekomendasi Komisi Penilai AMDAL(KPA) yang telah melaksanakan sidang penilaian addendum Amdal pada 2 Februari 2017.
Tentu isi keputusan ini mengecewakan warga Kendeng. Keputusan dimana PT Semen Indonesia Rembang diberi ijin membangun pabrik berkapasitas 3 juta ton per tahun. Kegiatan yang akan dilakukan adalah penambangan batu gamping dan tanah liat di beberapa desa. Termasuk kampung Ibu Patmi.
Maka, Ibu Patmi dan perempuan tangguh lainnya kembali datang ke Jakarta, tepatnya tanggal 13 Maret 2017, dan memasung kedua kakinya dengan semen, inilah bentuk protes jilid ke dua perempuan-perempuan yang juga didukung oleh aktivis perempuan dari Jaringan Tambang (Jatam).
Semangat Patmi dan perempuan Kendeng lainnya, mengingatkan kita kembali akan perjuangan-perjuangan perempuan lainnya. Kita masih belum lupa akan aksi cabut bibit tanaman pinus, yang ditanam di tanah adat wanita di Porsea saat PT Indo Rayon Utama melakukan penanaman di tanah adat mereka di tahun 90an. Kemudian aksi “telanjang” menghadang traktor yang dilakukan seorang ibu, ketika tanah-tanah di seputar kuningan akan digusur untuk dijadikan jalan, yang kini menjadi jalan Casablanca.
Sama dan sebangun, protes warga Kendeng, Porsea mengingatkan kita pada aksi yang dilakukan oleh Chico Mendes, seorang pejuang lingkungan, khususnya hutan tropic di kawasan Acre, Brasil. Dia adalah seorang penderas karet, pemimpin perserikatan dan penjaga hutan Amazon. Pembunuhan terhadapnya, menjadi berita hangat, 29 tahun silam, mendes ditemukan tewas di belakang rumahnya peluru panas menembus dadanya. Kemarian mendes menjadi sejarah baru perjuangan aktivis lingkungan di kawasan Amazon.
Chico, sepeti warga yang tinggal di sekitar hutan pada umumnya, hidup dalam kemiskinan, dia tinggal di wilayah sekitar Amazon, bernama Xapuri di Acre. Secara turun temurun, orang tua Mendes, juga menjadi penyadap lateks dari pohon karet lokal yang digunakan untuk persenjataan perang. Sejak kecil Mendes sudah bekerja sebagai penyadap karet di sebuah perkebunan besar.
Sebagai buruh, Mendes, kerap mengikuti pertemuan-pertemuan buruh, selain itu walau tidak mengecap pendidikan formal, Mendes memiliki semangat tinggi untuk belajar, dia belajar membaca, kemudian banyak mendengarkan siaran-siaran radio asing. Dari sanalah kesadarannya mulai tumbuh, Mendes menyadari bahwa dia dan rekan-rekannya sedang dieksploitasi dan diberlakukan tidak adil oleh taipan pemilik industri karet.
Mendes kemudian membentuk serikat pekerja, mereka sering memprotes berbagai aturan . Mendes menorehkan sejarah ketika tahun 1980 membentuk Dewan nasional Penyadap Karet, dan menyatukannya dengan serikta penyadap karet dan masyarakat di sekitar sungai, mereka menyebutnya Masyarakat Hutan. Melalui organisasi ini kemudian Mendes bergerak untuk mensejahterakan masyarakat miskin di sekitar hutan dan melawan perusakan terhadap hutan di wilayah sekitar.
Tahun 80-an Brasil berada dalam kekuasaan militer yang mendorong pembabatan hutan Amzon untuk peternakan, begitu juga hutan karet yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di sekitar Acre, maka para pnyadap karet kemudian mengalami pengusiran, karena perluasan areal peternakan dan juga untuk pertanian. Masyarakat yang terusir kemudian ditempatkan dalam kolonisasi di negara tersebut. Padahal masyarakat tersebut masih dalam kondisi miskin, dimana penyakit dan persoalan social masih dihadapi oleh mereka.
Maka mendes dan kawan-kawan mencoba melindungi tanah-tanah mereka dengan menjaganya, menggunakan gergaji mesin mereka memblokade kampong-kampung dan menghadang buldoser agar tidak menghancurkan kampong-kampung dan tanah-tanah yang mereka miliki.