disasterchannel.co – Dua putaran sudah debat calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta dilaksanakan. Hiruk pikuk kampanye, perdebatan, demo serta proses pegadilan saling susul menyusul, seperti tanpa jeda, masyarakat Jakarta dan mungkin juga di seluruh Indonesia mengikuti seluruh prosesnya dengan lelah. Sampai para calon gubernurnya sendiri pun tidak sempat menyampaikan rencana ke depan bila meraka terpilih meminpin ibukota.
Padahal Jakarta – seperti ibu kota lainnya – tentu punya banyak persoalan. Termasuk persoalan-persoalan dalam menghadapi potensi bencana yang bakal terjadi. Selain pengembangan untuk kenyamanan yang akan dilakukan oleh para balon, tentu rasa aman juga menjadi tuntutan bagi warganya. Seperti kita ketahui Jakarta adalah kota dengan luas 661,52 km, dengan jumlah penduduk 10.187.595.
Berdasarkan data , Jakarta merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yag cukup pesat, saat ini lebih dari 70% uang negara beredar di Jakarta (Pemda DKI). Perekonomian Jakarta yang geliatnya sangat dinamis, ditunjang oleh sektor perdagangan, jasa, properti, industri kreatif dan keuangan, dua pusat perdagangan yang cukup besar peredaran keuangannya adalah tanah Abang dan Glodok.
Sebagai pusat bisnis, tentu rasa aman juga menjadi tuntutan, berdasarkan catatan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) potensi bencana di Jakarta adalah banjir, kebakaran dan gempa. Banjir di Jakarta dirasakan hampir setiap tahun, bahkan jaman pemerintah Belanda, Jakarta juga sudah kerap mengalami banjir.
Saat belanda menguasai Batavia, mereka menyebutnya sebagai kota “Dispereert niet” jangan putus asa, begitu julukan untuk Batavia jaman ketika Belanda masih manduduki nusantara. Mengapa mendapat julukan seperti itu, karena Batavia hampir setiap tahun mengalami banjir, sejak Jan Pieterszoon Coen di abad 17, dia merancang Batavia dengan konsep kota air dimana sebagai Kota Pelabuhan Sunda Kelapa dengan kanal-kanal air seperti Amsterdam atau kota-kota di Belanda.
Sejarah mencatat, Batavia sudah kesulitan menangani persoalan banjir ini, dalam catatan tertulis Batavia pernah mengalami banjir tahun 1621, 1654, 1873, 1918 hingga 1909, banjir ini menggenangi rumah-rumah warga akibat meluapnya sungai Ciliwung, Cisadane, Angke dan Bekasi.
Pada 1918, misalnya, banjir juga pernah melumpuhkan Batavia. Sarana transportasi, termasuk lintasan trem listrik terendam air. Dua lokomotif cadangan dikerahkan untuk membantu trem-trem yang mogok dalam perjalanan. Banjir pada tahun itu merupakan yang terparah dalam dua dekade terakhir.
Ironisnya, banjir tetap mengepung setelah Belanda hengkang dari Jakarta, misalnya pada periode 1979, 1996, 1999, 2002, 2007 hingga kini. Artinya, sejak era Coen, hingga periode kepemimpinan gubernur-gubernur Jakarta, termasuk era Ahok, banjir juga masih kerap terjadi. Walau beberapa wilayah langganan banjir, seperti Bukit Duri, Manggarai, relative berkurang jauh, tetapi banjir di wilayah Kemang cukup mengejutkan .
Banjir Jakarta juga pernah tercatat sebagai tragedi bencana nasional. Misalnya pada 2002 dan 2007 lalu. Catatan pemerintah provinsi, pada 2002 banjir menewaskan dua orang dan menyebabkan 40.000 orang mengungsi. Sementara 2007, sedikitnya 80 orang dinyatakan tewas selama 10 hari karena terseret arus, tersengat listrik, atau sakit, dan jumlah pengungsi mencapai 320.000 orang.
Berdasarkan catatan, Belanda pernah membenahi system pengendali banjir di Batavia, berdasarkan buku yang ditulis oleh Restu Gunawan, Selain membangun beberapa infrastruktur baru, mereka juga membangun Kali Grogol, dan Pintu Air Manggarai lengkap dengan Saluran Banjir Kanal.
Banjir Kanal barat yang dulu dibangun oleh Herman Van Breen, seorang arsitek Belanda ini selesai, banjir di Batavia tetap saja terjadi, bahkan siklus 5 tahunan tetap saja terjadi. Menurut Herman, bila hanya mengandalkan BKB dan Pintu Air Manggarai, maka sebetulnya yang terjadi hanya pengalihan wilayah banjir ke wilayah lebih rendah. Bila sebelumnya limpahan air menggenangi Weltevreden (permukiman orang Eropa) dan kawasan Menteng, dengan adanya kanal dan pintu air tadi, air justru mengalir ke tempat lebih rendah, misalnya Manggarai dan Jatinegara.
Belanda cukup serius menangani banjir di Batavia ketika itu, bagaimana dengan para Cagub DKI ? Mendengar penuturan mereka dalam debat dua kali putaran yang disiarkan secara langsung oleh televisi, sedikit sekali informasi tentang penataan kota yang terkait bencana disampaikan oleh para calon. Kalaupun ada, jauh lebih banyak saling sindir tentang rencana reklamasi Teluk Jakarta. Tetapi tidak secara spesifik masing-masing Calgub menjelaskan alasan penolakan, atau mengapa proyek tersebut tetap dijalankan oleh petahana.
Kalaupun membahas soal masalah banjir, juga hanya sekedar melontar kritik soal penggusuran masyarakat yang ada di sekitar Kampung Pulo. Bagaimana dan mengapanya tidak dijelaskan dengan ringkas dan bernas. Tetapi bagaimana membangun Jakarta lima tahun kedepan, agar Jakarta tetap nyaman, aman ramah kepada siapa saja juga masih belum tergambar dengan jelas.
Debat cagub masih tinggal tersisa satu putaran lagi, masyarakat Jakarta tentu menanti-nanti penjelasan rencana para Cagub ini yang jauh lebih bernas. Semoga diputaran terakhir, para Cagub, bisa lebih berfokus pada substansi, sehingga warga Jakarta tidak seperti “memilih kucing dalam karung”.
Trinirmalaningrum
Tulisan lain dari Trinirmalaningrum dapat di baca di Disaster Channel dan Perkumpulan SKALA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H