Mohon tunggu...
Storin
Storin Mohon Tunggu... Penulis - 🌻

seribu jiwa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Elegi Romantisme 1000 Tahun Lagi

28 Juli 2020   12:06 Diperbarui: 4 September 2020   19:57 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Genap satu minggu kepergian sastrawan Indonesia Sapardi Djoko Damono meninggalkan kita. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Minggu 19 Juli lalu, sekitar pukul 09:17 WIB di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tanggerang Selatan.

Masih menjadi duka untuk kita semua, tetapi beliau akan tetap hidup didalam syair-syair puisinya yang akan abadi melengendaris dikehidupan setiap insan. Untuk sekedar saling mengingatkan, saya akan menuliskan kembali beberapa puisi beliau.


AKU  INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Betapa kuat magis yang diciptakan olehnya, tragis kita semua larut didalam krisis memahami arti mencinta. Puisinya mampu memberi warna untuk perjalanan seorang menemukan makna kehidupan. Bagi saya, menyampaikan rasa pada renjana adalah kejayaan peradaban cinta.

Ada juga puisi beliau yang berjudul:


YANG FANA ADALAH WAKTU

Yang Fana adalah waktu. Kita abadi;
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

Sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa

"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"

Kita Abadi.


Setiap detik adalah misteri, tidak ada seorangpun bisa memprediksi bagaimana peristiwa yang akan datang. Kita tidak berpihak pada nasib tetapi kepada takdir. Beliau mencoba mengingatkan untuk melakukan keindahan disetiap harinya. 

Romansa lini waktu, dari puisi beliau yang berjudul Yang Fana Adalah Waktu Kita Abadi, beliau menuliskan setiap insan akan menjadi tua dan kematian adalah hal yang pasti.

Percikan lembut syair-syair puisi beliau menciptakan ketenangan tersendiri bagi kita sebagai pembaca. Hemat saya, puisi beliau memiliki ciri khas tersendiri untuk merawat kesadaran dalam kesabaran.

Banyak orang-orang yang akan tumbuh tua, menikah, bercinta bahkan lahir kedunia ini dengan ditemani oleh sajak-sajaknya. Seperti bait sajaknya, kepergian Supardi Djoko Damono adalah bentuk kelahirannya yang abadi melalui bait-bait sajaknya. 

Orang bisa mati kapan saja, tapi tidak dengan karyanya. Supardi Djoko Darmono akan terus hidup dalam bait-bait karyanya bahkan hingga 1000 tahun lagi lamanya.

Eksistensi Sastra


Puisi adalah salah satu karya sastra yang digemari setiap kalangan, seperti dilansir dari merdeka.com dalam judul berita Puisi Adalah Karya Sastra Yang Memiliki Makna, Kenali Jenis dan Cara membuatnya.
Syair-syair puisi mengungkapkan suatu perasaan isi dari buah pikiran penyair dengan imajinatif, peristiwa dan perkembangan zaman.

Exsistensi puisi di negara Indonesia sendiri memiliki penyair seperti Alm. Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Chairil Anwar, WS Rendra, Taufik Ismail dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu. Setiap penyair memiliki gaya bahasanya sendiri saat menulis sekaligus membaca puisi.

Seperti dilansir dar Kompas.com, (28/4/2020). Puisi Alm. Sapardi Djoko Danamo banyak dikagumi karena banyak kesamaan yang ada didalam persajakan Dunia Barat yang disebut simbolisme sejak akhir abad ke-19. Beliau dianggap sebagai penyair yang orisinil dan kreatif.

Ada juga salah satu pelopor penyair di angkatan tahun 45, seperti dilansir dari Wikipedia, Chairil Anwar bersama Ansur Sani dan Rivai Apin mereka dinobatkan oleh H.B Jassin atau yang sering dijuluki Paus Sastra Indonesia. Ketiga penyair tersebut menjadi pelopor sekaligus perkembangan puisi modern di Indonesia.

Saya kembali mengingatkan puisi Chairil Anwar, syair yang mengandung tentang pemberontakan dan eksistensialisme hingga multi interpretasi membuat Chairil menjadi salah satu jawara kesusastraan di Indonesia. 

Seperti salah satu karya puisi Chairil yang berhudu Aku, saya akan menuliskan kembali untuk mengingatkan.

AKU

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tidak perlu sedu sendan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya yang terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa ku bawa berlari
Berlali hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Dari contoh Tokoh penyair yang saya tuliskan, sampai berbagai romantika karakter penyair. Kita harapkan untuk bisa menulis, apapun yang bisa kita tuliskan. Seperti Alm. 

Sapardi yang mengajarkan kita untuk lebih sabar dalam menyelami perasaan dan cinta. Juga Chairil Anwar yang membuat kita berkobar untuk berjuang dalam romantisme kehidupan.

Menulis berarti membuat pembaca dapat berelegi dengan berinmajinasi, saya juga mengaminkan menulis adalah cara untuk kita bisa hidup 1000 tahun lagi dengan  begitu kita akan dikenang dan akan selalu hidup didalam dunia. 

Sebenarnya memang kalau tiada kesakitan, orang tidak mempunyai keinginan untuk mengejar kebahagiaan. Oleh karena itu tidak keterlaluan jika dikatakan bahwa sakit dan pedih adalah tenaga untuk menuju kejayaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun