Harga BBM perlu dinaikan, ya harga BBM perlu dinaikan
Hari ini super iseng bikin postingan tentang BBM, alasan utamanya karena lelah nonton TV yang liputannya melulu tentang aksi anarkisme mahasiswa dibeberapa wilayah menolak kenaikan harga BBM. Mulanya hasrat menulis ini cuma ingin saya sampaikan dijejaring sosial, namun berhubung panasnya hati semakin menjadi-jadi melihat tayangan berita anarkis berulang kali, maka sayapun memberanikan diri membuat account di Kompasiana supaya bisa menyuarakan kejenuhan saya pada masyarakat yang lebih luas.
Bukan bermaksud sok ide ataupun menggurui, namun perkara BBM adalah masalah sensitif yang sudah selayaknya dibicarakan secara objektif dengan kepala dingin. Objektif berarti berpedoman pada data statistik ekonomi bukan hanya sekedar menyerukan sisi moralitas dan menyebut-nyebut penderitaan rakyat diatas segalanya.
Mengapa harga BBM perlu dinaikan?
Ada beberapa alasan kuat yang saya dapatkan dari perkuliahan Perekonomian Indonesia semester ini.
1) Tingginya Pos subsidi dalam APBN yang mencapai Rp350 T atau hampir 19% dari total APBN (Terdiri dari subsidi BBM Rp246,49 T dan subsidi listrik Rp103,82 T) mempersempit ruang gerak pemerintah untuk belanja infrastruktur. Padahal sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia sangat membutuhkan mega proyek untuk percepatan pertumbuhan ekonomi seperti tol laut, pembangunan bandara dan pelabuhan baru, pengadaan kapal-kapal logistik besar antar pulau, dll. Upaya-upaya untuk menarik investor memang sudah dan terus dilakukan, namun alangkah lebih baiknya jika sebagian pos subsidi BBM dapat dialihkan untuk menutup ‘defisit infrastruktur’.
2) Missallocation of resources – Tidak semua pemberian subsidi baik untuk rakyat. Dalam kasus subsidi BBM, study dari IMF ‘How subsidies hurt the poor’ menyatakan bahwa benefit dari subsidi BBM ini hanya dirasakan oleh 3% masyarakat dengan penghasilan terbawah, dan malah dinikmati oleh 61% masyarakat dengan tingkat penghasilan tertinggi. Mudahnya, jelas terlihat bahwa konsumen terbesar BBM adalah masyarakat menengah keatas yang memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu dan tingkat mobilitasnya tinggi. Sudah saatnya Indonesia mensubsidi ‘manusianya’ bukan lagi ‘barangnya’. Untuk hal yang satu ini, besar harapan saya Program Kartu Indonesia Sehat serta Kartu Indonesia Pintar bisa berjalan lancar dan tepat sasaran.
3) Efek jangka panjang apabila subsidi BBM ini tidak segera ditekan, Indonesia bisa saja bernasib sama seperti Yunani. Yunani adalah negara yang begitu memanjakan rakyatnya dengan segala rupa subsidi. Akibatnya Yunani mengalami defisit fiskal yang sangat besar mencapai 12,7 persen dari PDB ditahun ini. Belanja pemerintah Yunani naik hingga 87% namun penerimaan pajaknya hanya bertambah 31%. Yunani menutup kekurangan pengeluarannya dengan banyak meminjam dana luar negeri. Disaat banyak hutangnya jatuh tempo, kebutuhan belanjanya kian merangkak naik. Yunani-pun mengalami krisis ekonomi hingga kondisi sosial masyarakatnya collapse dan banyak aset negara terancam dijual.
4) Isu kenaikan BBM semakin memperlemah nilai tukar Rupiah. Kondisi nilai tukar rupiah sudah tertekan karena menguatnya nilai dollar AS yang disebabkan oleh kebijakan tapering off The Fed serta membaiknya perekonomian AS. Faktor-faktor eksternal memang sulit untuk dihindari, sehingga sudah saatnya faktor domestik diminimalisir untuk memompa kembali nilai rupiah. Dibutuhkan sinergi antar seluruh komponen masyarakat dan pemerintah dalam membentuk sentimen positif pasar guna menjaga nilai tukar rupiah.
5) Kenaikan BBM tidak seburuk yang dibayangkan. Banyak orang takut kenaikan BBM akan melecut inflasi atau bahkan krisis ekonomi. Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan BBM biasanya hanya One Shot Inflation ( hanya membumbung sekali kemudian akan kembali normal ). Ditahun 2005 inflasi karena kenaikan BBM memang sempat mencapai 17,1 % namun ditahun-tahun berikutnya sensitivitas inflasi terhadap kenaikan BBM kian lama kian menurun. Hal ini terjadi sebab kini produsen sudah lebih cermat dalam menyikapi kenaikan harga yang sementara. Banyak produsen yang tidak serta merta menaikkan harga produknya, namun lebih mencari akal dengan cara mengurangi kuantitas takaran saji, memangkas biaya produksi, dan sebagainya. Persaingan pasar yang ketat membuat produsen rela bersikap demikian untuk tetap mempertahankan margin labanya.
Lima hal tadi saya pelajari dari Dosen Perekonomian Indonesia saya, Bapak Tony Prasetiantono. Saya merangkum beberapa artikel beliau terkait isu BBM yang terbit diberbagai majalah dan koran nasional. Beliau adalah Ekonom dari Universitas Gadjah Mada yang seringkali opininya dianggap tidak netral karena dinilai berpihak kepada salah satu kubu politik di negeri ini.Menurut pandangan saya, pro terhadap kenaikan BBM menilik fenomena BBM dari kacamata ekonomi yang berbasis data statistik bukan berarti menunjukkan keberpihakan kepada salah satu kubu politik. Seorang akademisi dituntut untuk mampu menerjemahkan data menjadi informasi. Informasi itulah yang seharusnya disebarluaskan.
Saya cukup kecewa khususnya dengan beberapa media elektronik di Indonesia yang membahas isu BBM tanpa menyertakan data statistik ekonomi. Setiap hari masyarakat Indonesia dihasut oleh isu-isu kosong dalam arti tidak berbasis data. Pejabat-pejabat negeri meneriaki satu sama lain, menghakimi kenaikan BBM dengan membawa nama rakyat. Tinggalah mahasiswa Indonesia yang mampu menjadi Agent of Information bagi masyarakat di lingkungannya dalam menyikapi isu BBM.
Harapan saya setelah dipostingnya tulisan ini, gerakan pro terhadap kenaikan BBM mampu menangkal gerakan anarkis anti kenaikan BBM. Sesama mahasiswa marilah bahu-membahu mengumpulkan data, merajut informasi dengan berdiskusi untuk menyelesaikan masalah bangsa. Bukan malah memaki kebijakan, merusak infrastruktur publik tanpa memberikan solusi.
Semoga Tuhan memberkahi seluruh mahasiswa Indonesia. Hidup Mahasiswa Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H