Mohon tunggu...
Rindy Agassi
Rindy Agassi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

New chapter, New Story. \r\nhttp://rindy-agassi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balada Meja Makan

22 Februari 2014   00:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bau harum mentega perlahan merambat masuk ke hidungku, aroma yang makin kuat bersamaan dengan datangnya benda yang mengeluarkan bau itu. Sebuah mangkuk besar dari beling bercorak kembang datang ke atas meja, sudah bisa kutebak nasi goreng mentega terisi hampir penuh di mangkuk itu.

Di sebelah mangkuk besar berisi nasi itu sebelumnya sudah tersaji piring datar dari beling pula bercorak bunga pula. Aku menghitungnya, ada lima telur mata sapi di atas sana, matanya berwarna kuning dan hanya ada satu di tengah. Apa yang kulihat ini menggoda selera makanku, perutku sudah memanggil dengan suara khasnya agar segera memasukkan makanan-makanan itu ke dalamnya.

Aku memajukan kursi yang terbuat dari kayu jati asli ke arah meja makan dan seketika keluar bunyi gesekan antara ujung kursiku dengan lantai keramik. Seketika itu pula ayahku melihat ke arahku, dengan tatapan tajamnya, mulutunya tak berbicara namun kumis tebalnya sudah membuatku takut. Aku meminta maaf dengan suara pelan ke arah ayahku dan memberi sedikit senyum padanya.

“Mari sebelum kita makan, kita berdoa.” Ayahku dengan suara yang dalam dan berat memimpin doa bersama kita, ritual yang wajib dilakukan ketika mau memulai makan.

Lantunan doa selesai diucapkan dan secara berurutan ritual makan pagi itu pun dimulai. Aku menyebutnya ritual karena selalu ada urutan yang pakem tiap kali makan di meja makan ini. Ibuku mengambil mangkuk besar berisi nasi goreng, kemudian menggunakan sendok khusus nasi mengambilnya dan menaruh ke piring ayahku. Setelah itu satu telur mata sapi itu ditaruh ibuku ke piring milik ayahku.

Berikutnya kakak laki-lakiku diambilkannya nasi goreng untuk disajikan di piringnya, porsinya tergantung sampai kakakku mengatakan cukup dan menarik piringnya, selanjutnya sama seperti tadi telur mata sapi disajikan pula dia atas tumpukan nasi goreng itu.

Selanjutnya giliranku untuk mendapatkan jatah, setelah itu adik perempuanku dan kemudian ibu sendiri. Kami pun berlima mulai memasukkan sesuap demi sesuap nasi itu ke dalam mulut, mengunyahnya menjadi halus dan kemudian menelannya perlahan. Pembicaraan pun dimulai di jeda selesai menguyah dan mengambil sesendok nasi lagi. Kata orang kalau makan dilarang bicara itu memang benar bila kita sedang mengunyah dan menelan, tetapi ketika sedang tidak mengunyah dan menelan tak ada masalah untuk berbicara.

“Kamu nanti pulang sekolah jam berapa?” Ayah bertanya padaku karena hanya satu-satunya yang bersekolah, kakakku sudah bekerja dan adikku masih kecil dan belum sekolah.

“Jam dua siang yah.” Aku mengambil lagi sesendok nasi dan memakannya.

Setelah itu ayahku berbicara dengan kakakku, mereka terlihat banyak berbicara, aku hanya mendengar sedikit saja karena suara mereka tak terlalu keras. Tidak masalah bagiku, terkadang mereka juga tersenyum satu sama lain dan tertawa kecil. Ibuku sibuk dengan adik kecilku, menyuapinya untuk mau makan atauapun menyuapi dirinya sendiri. Tapi aku juga terkadang menggodai adikku yang masih kecil itu, aku buat dia tertawa dan tingkahku ini membuat ayah dan kakakku ikut tertawa kecil melihatnya.

Suasana hangat pagi ini di meja makan menjadi semangat tersendiri bagiku, hangat sinar matahari pagi ini terasa masuk sampai ke dalam rumah, menembus tembok-tembok rumahku, begitu nyaman aku dengan suasana seperti ini.

Kami berlima tak terlalu lama menyantap makan pagi ini, seperti biasa aku dan kakakku harus menjalani rutinitas. Aku harus bersekolah mengenakan seragam putih abu-abu ini, kakakku harus berangkat kerja. Ayahku sendiri sudah pensiun setelah lebih dari 30 tahun mengabdi di militer, ibuku memang sudah lama tak bekerja. Semangatku terisi penuh pagi ini dan siap menjalani hari dengan baik, aku yakin kakakku juga merasakan hal yang sama, di wajahnya terpancar semangat yang menular bagi siapa saja yang melihatnya.

`~~~

Segar rasanya menyiramkan air dingin ke tubuhku, baru saja aku selesai mandi dan sekarang sudah bersiap duduk di meja makan. Beberapa hidangan sudah tersiap di atas meja, kali ini lebih lengkap dibanding makan pagi tadi. Ada sayur lodeh, ada pula ca kangkung,  satu ekor ayam goreng, mie goreng, dan tentunya sambal terasi. Melihatnya saja air liurku hampir saja menetes, apalagi ketika aku memakannya pasti nikmat sekali.

Kami masih menunggu kakakku yang sedang mandi, ayah, ibu, dan adik kecilku sudah bersiap di meja makan. Ayah dan ibu sedang sibuk bersama adik kecil, mereka masih bermain-main dengannya. Aku hanya melihatnya saja, pikiranku masih fokus ke makanan di meja ini.

“Kakk!!Jangan lama-lama donk mandinya!” Aku berteriak memanggil kakakku yang masih mandi.

“Sabarrrr..” Ibu melihat ke arahku, mencoba menenangkanku dan tersenyum, ayahku juga ikut tersenyum melihatku yang sudah kelaparan.

Ibu pun mengajakku untuk mengobrol, cara yang cerdas untuk mengalihkan rasa laparku. Ibu menanyai tentang bagaimana aku sekolah tadi, ada kegiatan apa saja, dan bertanya apakah besok ada ulangan atau tidak.

Aku pun bercerita tentang kegiatanku di sekolah tadi, ibu mendengarkan dengan baik, menanggapi secukupnya, terkadang membuat lelucon yang membuatku tertawa. Ayah juga ikut larut dalam pembicaraan, ayah lebih banyak memberi nasehat padaku, tapi terkadang ayahku juga ikut mencairkan suasana, menceritakan masa mudanya, menceritakan ketika bertemu dengan ibu saat SMA dulu. Cerita ayah dan ibu tak pernah ada habisnya, selalu saja ada cerita ketika ada di meja makan ini, terkadang cerita-cerita itu sambung menyambung seperti sedang membaca sebuah buku, terkadang pula cerita-cerita baru lainnya.

Sejenak rasa laparku tertutup oleh kehangatan ini, kemudian aku melihat ke arah jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Matahari sudah tak bersinar lagi, cahaya yang menerangi malam ini hanya lampu yang terpasang di langit-langit rumah dan sinar bulan yang tak terlalu terang itu. Aku kembali teringat akan rasa laparku dan berharap kakak cepat selesai.

“Akhirnyaaa..” Aku melihat ke arah kakakku yang sudah selesai mandi dan segera duduk di sebelah ayah.

Kami pun memulai makan malam ini dengan doa dan setelah itu seperti biasa ibuku memulainya. Kami pun menikmati makan kami masing-masing, ayah bertanya-tanya pada kakaku tentang bagaimana kerjanya tadi, ayah dan kakakku memiliki hubungan yang sangat dekat. Ibuku juga terlihat tertarik dengan obrolan para lelaki ini. Kakakku meminta nasehat ayah tentang pekerjaannya, aku pun dengan seksama mendengarnya, bekalku untuk ke depan ketika aku sudah bekerja. Ibuku juga terkadang memberi nasehat pada kakakku, khususnya dalam hal mencari jodoh. Kami berlima saling mengobrol, saling bercanda dengan tak lupa menikmati makan yang sudah tersaji ini.

Makan malam berbeda dengan makan pagi, makan pagi adalah saatnya bagi kami untuk saling mengisi semangat dan bercerita hal apa saja yang akan dilakukan seharian. Kemudian makan malam adalah saatnya kami semua menceritakan kegiatan yang sudah kami lakukan seharian, membagi kelelahan kami satu sama lain, kelelahan yang akan lenyap begitu saja ketika kami saling membagi lewat obrolan. Senyuman dari masing-masing selalu menjadi semangat baru lagi, semangat yang cukup untuk mengantarkan kami tidur malam ini, mengantarkan kami pada mimpi indah tanpa satu beban pun yang ada di pundak yang itu menjadikan kami semua tidur dengan nyenyak.

Tak hanya ketika kami makan di rumah kami seperti ini, saat makan bersama di luar pun dan biasanya di akhir pekan kami pun selalu melakukan hal yang sama. Melakukan doa di awal kemudian dilanjutkan dengan tugas ibu, dan akhirnya terhanyut dalam obrolan yang menyenangkan dan terasa nyaman serta hangat. Ketika sudah berada si satu meja makan yang sama maka saat itu pula kami sekeluarga terhanyut dalam kebersamaan keluarga, semua perhatian ada di keluarga ini tanpa terganggu hal-hal lain, tapi itu tak bertahan lama.

~~~

“Awww” Seketika lamunanku ke masa lalu buyar. Aku kaget mendengar suara dering handphone dan lututku dengan cepat menatap bawah meja, cukup sakit dan cukup untuk membangunkanku pada kenangan masa lalu di meja makan bersama keluargaku dulu.

Sekarang aku sudah dengan keluarga yang lain, aku sudah memiliki keluarga sendiri, sudah mempunyai dua orang anak. Aku sudah tinggal di rumah yang berbeda dengan ayah dan ibuku.

Ini saatnya makan malam, aku termenung di meja makan sendiri, menyuap sendok demi sesendok makanan dari kotak makan di depanku ini. Makanan yang aku pesan setengah jam yang lalu dan baru saja sampai setelah diantar oleh seorang kurir makanan.

Anakku yang paling tua belum pulang, dia sedang pergi bersama teman-temannya, anakku satunya memilih makan di ruang tamu sambil menonton televisi, sedangkan istriku belum pulang dari kantor karena sedang lembur.

Tak hanya malam ini aku tak merasakan kehangatan sebagai keluarga, sangat jarang aku bisa berkumpul bersama keluarga untuk makan bersama. Di pagi hari karena macetnya jalan mereka masing-masing memilih berangkat pagi, anak-anakku memilih sarapan di sekolah, istriku sarapan di kantor, dan akhirnya aku pun terpaksa sarapan juga di kantor karena takut terkena macet dan terlambat.

Kesempatan untuk makan bersama pun biasanya datang ketika akhir pekan. Kami sekeluarga memiliki kesempatan untuk makan bersama di restoran, tapi ini tentu berbeda dengan dulu. Tak ada obrolan menyenangkan, tak ada suasana hangat, tak ada kenyamanan yang lebih ketika kami sekeluarga pergi makan. Kedua anakku sibuk dengan handphone mereka masing, mata mereka bahkan tak menatap mataku dan mata istriku, mata mereka terus tertuju pada handphone yang mereka pegang. Aku pun hanya mengobrol seadanya dengan istriku, istriku lebih sering mengobrol dengan handphonenya atau juga lebih sibuk berbicara dengan komputer tablet yang dia bawa.

Aku tak mau menyalahkan mereka, keadaan memang sudah berbeda dengan dulu, jaman sudah berubah. Aku mencoba menikmati semua ini sambil perlahan-lahan aku membangun lagi suasana di meja makan seperti dulu, suasana yang selalu menyenangkan bersama keluargaku dulu, mulai membawa lagi suasana hangat meja makan ke keluargaku sekarang, membangkitkan lagi suasana kebersamaan di meja makan yang perlahan mulai hilang tergerus jaman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun