(1)
Akan ada saatnya
kita bertatapan, saling melihat mimpi di kedua mata.
Membuka kejujuran,
atau hanya sekedar melepas lelah rindu.
(2)
mungkin ada saatnya
kita bergandengan turun ke jalan.
Melihat gadis mengangkangkan keluh nasib kedua paha,
atau sekedar meluap rindu.
(3)
melihat bocah kurus
dalam gendhong nestapa malam.
Sedang di hamparanya hanya kaleng kosong.
(4)
melihat penghisap pahit
dengan mulut merahnya di garis lorong.
Sedang mereka memukuli kolor tiang pagar Tuhan
dan berucap, “kapan aku mati?”
(5)
mungkin akan ada saatnya
kita akhiri turun jalan kita
karena kau tak henti menangis menatap hidangan jalan itu: pahit-dunia-cinta.
(6)
Sekarang. Aku mengulang
kisah jejak kaki yang sempat terukir di lorong ini.
Aku begitu takut jenuh berkata cinta.
(7)
dan sejauh jalan ini
kutemui gadis berdada melukis dinding dengan tangis:
siapa yg kau gambar? | dia | kok bertanduk? | entahlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H