Tulisan ini saya haturkan berawal dari keprihatinan saya melihat realita kekinian yang sekiranya mampu membuka mata-telinga rakyat, sadar akan kondisi sosial saat ini. Bersebab cengkraman elit politik pada seluruh lini kehidupan manusia kekinian kian kentara.
Keadaan makin parah ketika manusia beserta bumi dan segala isinya dieksploitasi habis-habisan. Melihat runyamnya keadaan itu, para akademisi yang katanya berintelktual tinggi, tak lagi berperan memerangi kebijakan. Terjadilah sistem pendidikan yang tidak seimbang, menjadikan kaum akademisi malah berselingkuh dengan elit politik.
Jiwa intelektual berubah menjadi figur yang haus akan hibah, menjadikan permasalahan rakyat menjadi proyek yang berujung pada pencarian laba. Pencarian solusi dari permasalahan rakyat justru didesain menjadi barang mewah yang siap dilelang, lalu dikomersialkan. Perselingkuhan kini berlanjut, rakyat menjadi kelinci percobaan.
Kiprah mereka yang asyik dalam perselingkuhan ini terus saja membodohi rakyat. Bermodus melakukan perubahan, nyatanya makin memperparah keadaan, sebab perubahan yang terjadi malah prematur. Elit politik dan akademisi makin berada dalam zona nikmat, sementara rakyat makin sengsara.
Kaum Intelektual Sejati?
Sejatinya para akademisi mempunyai intelektual sebagai seorang yang terpelajar. Pemikiran yang kritis tentunya menjadi pisau analisa, harus dipersiapkan sebagai corong memerdekan manusia dari jurang kebodohan. Hal ini senada dengan apa yang diserukan pemikir Indonesia, Pramodya Ananta Toer. Dalam bukunya yang berjudul ‘Bumi Manusia’ ia berseru: “Seorang terpelajar sudah harus bertindak adil semenjak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan!”. Sebab itu, saya sebagai putra Indonesia patut mengkampanyekan seruan itu. Sebab seorang terpelajar itu mampu bertahan dari serangan yang menistakan dunia pendidikan.
Dalam diri kaum akademisi sejatinya bersemayam jiwa intelektual sejati. Orang yang berintelektual sejati adalah mereka yang berpikir kritis, objektif dalam mengkaji masalah dan persoalan. Mereka berpikir ilmiah. Pemikiran kritis tentu membawa mereka pada jati diri yang bisa menemukan sebab-akibat, sesuatu hal yang masuk akal, dapat dipercaya, dapat dibuktikan, ada materi, ada bukti, meneliti, mempertanyakan, data yang akurat, dan rasional. Mereka juga mampu mengkaji tesa, antitesa, dan sintesa. Lebih lanjut, mereka akan mampu menyelesaikan segala kesenjangan yang tejadi di bumi-manusia ini.
Pertanyaan yang justru membunuh, masih mampukah bertahan dalam naungan ke-intelektual-an itu? Tentu yang bertahan adalah kaum intelektual sejati. Yang tidak bertahan adalah mereka yang menghianati jiwanya sebagai pembunuh berjubah intelektual.
Kaum intelektual palsu tersebut telah menyakiti amanat pendidikan nasional kita. Sebab, akan melahirkan roh pendidikan yang membuat kesenjangan sosial. Para rakyat akan mengangap pendidikan hanya disulap untuk mempertebal kelas sosial. Menganggap para akademisi sebagai raja ilmu pengetahuan hanya disekolah atau dilembaga pendidikan saja. Kenyataan memang demikian, banyak yang tuli terhadap jeritan rakyat, tenggelam dalam sistem sosial yang mencekik.
Orientasi masayarakat dalam mengecap pendidikan pun akan kabur. Pendidikan akan dianggap untuk mencengkram ‘jubah jabatan’. Jika demikian anggapannya, lulusan orang yang mengecap pendidikan hanya mampu mengisi lowongan pekerjaan di pabrik-pabrik sana. Terciptalah mereka buruh yang digaji dibawah upah minimum. Lagi, lulusan yang disekolahkan menjadi robot bernafas.
Akademisi VS Elit Poltik
Barangkali kaum akademisi tak tahu bahwa mereka sedang dimanfaatkan elit politik. Hanya begitu penting ketika ada hubungan khusus, kepentingan sesaat. Jati diri kaum akademisi seharusnya bisa mengkaji gejala dan hakikat, sebab dan akibat, yang membelunggu kehidupan masyarakat. Tapi nyatanya “gelar” yang melekat dalam deretan nama itu hanyalah senjata untuk merenggut setumpukan tender yang bisa memperkaya dirinya.
Makin parah, pemikiran yang kritis tergadai oleh godaan licin si elit politik. Ini semua tak mustahil terjadi sebab elit politik bisa memanfaatkan apa saja untuk menaikkan citranya. Elit politik memang licik. Litahlah pemberitaan yang disiarkan di media televisi itu. Segala aspek pemberitan ditunggangi oleh pemilik media. Sebab media massa sudah dikuasai oleh elit poltik dengan cara menjadi pemiliknya.
Hasil dari perselinguhan itu tentu saja menjadikan dunia pendidikan didesain kearah yang komersial. Dunia pendidikan akan dijadikan basis politik yang dapat menjaring peserta didik menjadi pendukung si elit politik. Sementara para pemikir dengan gampang diberi jatah menjadi staf ahli diberbagai instansi. Hakikat pendidikan pun memudar: membinatangkan manusia.
Seharusnya kaum akademisi harus bisa memerangi elit politik yang bernafsu menyetubuhi dunia pendidikan. Melalui pemikiran kritisnya, sepatutnya kaum akademisi bisa sebagai pengontrol sisitem yang di-virus-kan elit poltik. Menguburkan niat mereka yang populis dan mengatasnamakan rakyat. Sebab itu, kaum akademisi seharusnya tidak terjun dalam politik praktis. Karena jika terjun, itu sama saja memperkuat ikatan perselingkuhan dengan elit politik.
Jika tak terjadi lagi perselingkuhan, rakyat pun akan lepas dari jurang kelam. Mereka tak lagi kelinci percobaan. Mereka tak lagi kesusahan membiayai pendidikan anak-anaknya. Merekapun pasti puas meskipun anggaran dari APBN kepada dunia pendidikan hanya 20 persen. Sebab dana itu sudah dijalankan sesuai dengan fungsinya, tidak lagi digunakan untuk dana perselingkuhan kaum akademisi dengan elit politik.
*Penulis adalah Guru PPL di SMA Negeri 1 Kotarih, Mahasiswa Geografi Unimed, Jurnalis di Medan, Aktif di Kelompok Studi Mahasiswa BARSDem
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H