126
Samar-samar kudengar suara burung hantu di kejauhan.Malam sudah lewat dua jam yang lalu, tetapi mataku masih saja enggan terpejam. Itu karena aku tak lagi sanggup menanggung rasa yang membuncah dalam dadaku. Rasa rindu kepadamu ibu, rindu akan seluruh perhatian dan kasih sayangmu. Mungkin ibu tidak akan pernah percaya. Semenjak meninggalkan rumah enam bulan lalu itu, setiap malam aku selalu terjaga.Dan hanya tidur paling lama tiga jam, itu pun setelah mataku kelelahanmengurai air mata.
Aku tahu hubungan kita memang tak pernah mesra dan manis, seperti kisah-kisah ibu dan putrinya yang biasanya sangat menyentuh dan romantis. Bahkan tak jarang kita bersitegang hanya karena hal-hal sepele. Hanya karena masakan saja bisa membuat kita tak saling tegur sapa. Aku yang tak suka manis dan ibu yang tak suka pedas. Tapi bagaimanapun bu, aku adalah putrimu dan ibu adalah ibuku karena sudah melahirkan dan merawatku sampai sebesar ini.
Aku sudah tak ingat lagi, sejak kapan hal ini terjadi. Yang aku ingat semua ini bermula sejak ibu melahirkan adik, Yuena. Adik yang gemuk, putih, montok dan sehat selalu menjadi perhatian semua orang. Tidak sepertiku yang kurus, hitam dan sakit-sakitan. Bahkan waktu duduk di bangku taman kanak-kanak semua orang mengira bahwa aku adalah anak laki-laki. Karena ibu selalu memotong pendek rambutku yang tipis dan merah.
Sesungguhnya aku tidak pernah iri dengan adik ibu, meskipun budhe Naira selalu berkata padaku sambil berbisik saat menyisiri rambutku yang basah sehabis di mandikannya. Karena tentu saja ibu lupa memandikanku karena sibuk mengurus adek Yuena. “Ibumu itu pilih kasih”begitu setiap hari ia menggerutu tak terima. Aku selalu berusaha menyangkalnya ibu, Meskipun kenyataannya ibu hampir tak pernah memperhatikanku lagi kecuali untuk memarahiku. Jauh didalam hatiku aku yakin sekali, ibu pasti menyayangiku.
Aku sendiri tidak tahu kenapa ibu selalu saja memarahiku. Setiap hari selalu saja ada alasan untuk membuat ibu menjadi marah. Yang membuat jiwa kecilku selalu ketakutan dan mencari perlindungan di pangkuan nenek ataupun budhe Naira. Kadang hanya karena bunyi sendalku yang membangunkan adik Yuena, ibu tak segan membuat pahaku biru dengan satu cubitan. Rasanya sakit sekali ibu, hatiku yang sakit.
Kenapa ibu seperti begitu membenciku? Padahal sebagai anak berumur lima tahun aku sudah melakukan banyak hal untuk membantumu ibu. Menyapu, mencuci piring, melipat baju, mengepel lantai dan menunggui adik kalau ibu sedang mandi. Bahkan sebelum ibu bangun aku selalu berusaha menyelesaikan seluruh tugasku agar ibu senang. Agar ibu tak lagi marah padaku.
Bapak yang senang pulang pagipun sepertinya tak pernah peduli. Meskipun ketika marah ibu terlihat sangat mengerikan. Mata ibu yang merah dan melotot galak selalu membuatku ketakutan luar biasa. Seperti hantu-hantu yang sering datang ke dalam mimpi-mimpi buruk untuk menculikku. Mimpi yang membuatku bangun tersengal-sengal di tengah malam. Saat ibu tengah lelap sembari memeluk erat adik Yuena yang tidur nyenyak.
Mungkin juga ibu tak suka kepadaku karena aku tak sepertimu ya bu? Ibu cantik, putih dan sehat. Tidak sepertiku yang sepertinya semakin jelek saja dilihat. Ibu masih ingat tidak kenapa aku tidak pernah lagi mau pergi bersama ibu? Itu karena semua kenalan ibu berkata terus terang kalau tidak percaya aku ini anak ibu. Tatapan mereka yang tidak bisa aku lupakan ibu, membuatku terus menjadi pribadi yang pemalu sampai hari ini. Bahkan kalau ibu ingin tahu, aku pernah merasa yakin dulu, kalau aku memang bukan anak ibu. Tidak seperti adik Yuena, sebelum ibu mengenalkan, semua sudah menebak kalau ia adalah anak ibu. Ya adik Yuena memang persis seperti ibu.
Semakin besar rasanya ibu semakin tidak menyukaiku selalu ada saja hal yang membuat ibu bertengkar denganku. Hanya karena lupa menyapu saja bisa membuat ibu murka. Padahal semua tugas sudah kukerjakan. Adik Yuena saja tidak mengerjakan satupun tugas yang ibu berikan tapi ibu tak pernah semarah itu kepadaku. Meski selalu berusaha kusangkal, rasa iri itu seringkali menyelip juga tanpa bisa kucegah, mudah-mudahan ibu memaafkanku untuk hal ini.
Kemarin malam budhe Naira datang ke tempat kamarku, tempat aku tinggal selama enam bulan ini. Beliau menceritakan banyak hal yang membuat aku terharu. Dan merubah pandangan salahku selama ini terhadap ibu. Beliau berusaha meyakinkan aku kalau diam-diam ibu sangat mencintaiku. Mungkin ada beberapa hal yang aku tidak tahu, yang membuat ibu tidak pernah bersikap manis padaku. Tapi kalau aku pulang nanti aku berjanji akan merubah sikapku terhadap ibu. Karena mungkin juga sifat keras kepalaku yang membuat kita berjarak selama ini.
Budhe Naira bilang kalau ibu sudah membanting tulang selama ini untuk membiayai sekolahku dan adik Yuena. Karena bapak yang penghasilannya pas-pasan itu kerap menghamburkan pendapatannya yang tak seberapa itu untuk bermain judi sampai pagi. Ibu bekerja mencuci baju tetangga ketika aku dan adik berangkat ke sekolah dan cepat-cepat kembali kerumah saat aku dan adik pulang sekolah. Itulah sebabnya kenapa aku dan adik tidak tahu kalau selama ini ibu sudah bekerja sampingan menjadi buruh cuci. Ibu melakukan ini semua agar aku dan adik tidak merasa malu karena ibunya seorang buruh cuci. Airmataku mengalir deras mendengar cerita budhe Naura. Kenapa ibu tidak berterus terang saja kepada kami dari dulu. Sehingga aku tidak berprasangka begitu buruk terhadap ibu? Mungkin aku pun bersikap lebih baik terhadap ibu bukan? dan hubungan kita akan menjadi baik dan manis seperti kisah-kisah yang lainnya. Ah ibu,……
Kata budhe juga ibu selalu membangga-banggakan aku yang mandiri, tidak rewel dan manja seperti adik Yuena. Selalu ranking pertama di sekolah dan rajin membantu ibu. Ibu malahan sudah menabung dengan asuransi untukku agar aku bisa bersekolah tinggi sampai kuliah kelak. Setiap ada acara kumpul-kumpul tak lupa ibu selalu menyelipkan cerita kehebatanku di sela-sela pembicaraaanya. Sehingga konon aku menjadi anak idaman para ibu-ibu. Itukah sebabnya banyak teman-teman tidak menyukaiku. Karena ibu-ibu mereka memaksa untuk menjadi sepertiku. Agar bisa di bangga-banggakan kalau ada arisan.
Budhe Naira juga meminta maaf kepadaku, karena dulu suka bilang kalau ibu pilih kasih. Sebenarnya ibu bersikap lebih kepada adik Yuena karena ibu pernah nyaris kehilangan adik Yuena ketika lahir. Setelah melewati persalinan yang cukup sulit dengan dibantu bidan desa. Adik Yuena yang sempat menangis tiba-tiba kehilangan nafasnya. Bibirnya membiru dan badannya dingin tidak bergerak. Untunglah bidan desa yang cekatan segera membungkus adik Yuena dan menghangatkannya dengan lampu bohlam. Mungkin kalau di rumah sakit bisa menggunakan inkubator. Sayang waktu itu ibu sedang tidak punya uang untuk membawa adik ke rumah sakit.
Mungkin itulah sebabnya ibu selalu memeluk adik Yuena erat-erat di malam hari. Seakan takut sekali kehilangan. Ah, rupanya selama ini aku sudah berfikiran begitu buruk kepada ibu. Maafkan aku ibu, sebenarnya aku sangat mencintai ibu. Aku hanya ingin melihat senyum di wajah ibu yang terlihat murung.
Seandainya ibu tahu, aku hanya sedikit kecewa karena aku merasa semua hal yang kulakukan tidak berkenan bagi ibu. Aku tidah pernah menginginkan pujian sebagai imbalannya. Aku hanya ingin melihat senyum di wajah ibu yang cantik. Aku tidak tahu apa yang membuat ibu lebih sering marah daripada tersenyum. Bahkan seumur hidupku aku belum pernah melihat ibu tertawa seperti orang-orang. Itulah sebabnya aku selalu berusaha sekuat tenaga, untuk membuat ibu lebih bahagia, dengan tertawa. Tetapi rupanya ibu tidak berkenan. Kalau saja aku tahu bebanmu ibu, kalau saja ibu mau berbagi denganku?
Aku sedih, ibu tidak pernah berusaha mengerti keinginanku. Termasuk menyetujui hubunganku dengan Yonan, kakak kelasku yang ketua OSIS dan menjadi pujaan gadis-gadis di sekolah. Bahkan ibu malah membanting-banting gelas dan piring ketika ia datang. Sehingga Yonan ketakutan dan kapok datang lagi kerumah karena takut sama ibu. Bukan itu saja bu, di sekolah juga ia lalu menjauhi aku. Sepertinya ia benar-benar trauma dengan sikap ibu. Aku malu bu, semua orang di sekolah menggunjingkan aku.
Itulah sebabnya aku kabur kerumah budhe Naira , yang menurutku lebih sayang kepadaku. Aku tidak tahu kalau ibu terlalu sayang padaku, hingga ibu takut aku salah pilih seperti ibu. Memilih bapak yang sayangnya hanya ada dalam kata-kata. Lalu menghilang ketika sudah berumah tangga. Ibu takut kalau aku kawin muda dan menderita seperti ibu. Ibu ingin aku menjadi sarjana, dan hidup bahagia. Kenapa ibu tidak mengatakan langsung kepadaku bu. Kenapa aku harus tahu dari budhe Naira?
Tapi aku tidak lagi marah kok Bu, aku sudah mengemas semua buku dan bajuku. Besokkan hari minggu aku mau pulang ke rumah ibu. Aku mau membahagiakan ibu dan adik Yuena. Aku tak akan lagi membantahmu Bu. Aku juga akan belajar lebih keras dan tak peduli Yonan. Agar aku bisa mendapatkan beasiswa dan menjadi sarjana sperti harapan ibu. Ibu mau kan memaafkanku dan menerimaku lagi Bu? Aku berjanji Bu, aku akan membuat hubungan kita menjadi manis seperti cerita-cerita yang lainnya. Ibu mau kan Bu?
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community http://www.kompasiana.com/androgini
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H