Mohon tunggu...
Rindu Aprilia
Rindu Aprilia Mohon Tunggu... Guru - Pecandu rindu

Mengenang keusangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelah, Boleh kan?

17 Januari 2019   14:03 Diperbarui: 17 Januari 2019   14:16 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sini aku duduk sendiri. Menatap bangunan putih yang mulai dihinggapi lumut-lumut hijau khas dedaunan. Dinding-dinding bagian atasnya mulai dihinggapinya sawang-sawang yang diproduksi oleh laba-laba, yang dengannya, mengingatkan pada kisah masa Rasulullah dengan sahabat saat dikejar-kejar oleh musuh. Dengan hebatnya, Tuhan mengirimkan laba-laba, dengan sarang dari Nya yang menyelamatkan.

Mataku menatap lamat-lamat setiap bangunan kumuh itu. Bentar lagi, ia akan kutinggalkan. Akan terkubur, dan akan tertinggal jauh.  

Angin sepoi-sepoi membuatku ingin sekali terlelap dan bermimpi. Namun, karena sebuah urusan, terpaksa aku menunda tidru siang dengan duduk, dan menunggu di teras ini.

Sejak pagi, tubuhku sudah lelah, ditambah dengan lelahnya jiwa. Ah, apa yang lebih kelelahan selain merasakan jiwa yang lelah? Jika raga yang lelah, bisalah terobati dengan istirahat sejenak. Namun, jika jiwa yang lelah? Bukankah istirahatpun tak mampu menjadi penawarnya?

Hari ini, tak hanya lelah raga, tapi juga jiwa. Ah, aku menjadi membayangkan, bagaimana dahulu junjunganku lelah jiwa dan raga sepanjang waktu. Sementara aku? Lelah sehari saja, menggerutunya minta ampun. Maafkan hamba Mu yang masih belajar bersyukur ini Rabb.

Aku lelah, sebab dihadapkan dengan hidangan yang memang membuatku lelah. Tentu, memaksa orang-orang untuk seratus persen mengikuti aturan main kita, memang tidak dapat dilakukan. Namun, bukankah jika sedikit saja mengikutinya pin sudah cukup memadai dan membuat nyaman di hati?

Akh. Bukan sekali, dua kali. Berkali-kali mereka molor.
"Kumpulnya jam 11 aja. Nanti kan molornya sejam",

Ntahlah. Ada duri yang menusuk-nusuk tajam di hatiku. Sakit sekali. Jika akan diadakan rapat, selalu saja, "nanti kan molornya sejam", ada kalimat yang entah darimana asalnya itu.

Merencanakan keburukan. Itu yang bisa kukatakan pada hatiku. Terlalu terbiasa molor, hingga menyisihkan waktu tersendiri untuk kemoloran. Hey, kita sedang membiasakan keburukan? Kita sedang memberikan kesempatan pada keburukan mindset kita tentang waktu.

Akh. Ini lebih dari menyebalkan bukan? Jika demikian, untuk apa kita sibuk menentukan jam, jika pada akhir dikhianati sendiri? Melelahkan diri saja.

Baiklah, kita anggap itu hal biasa yang memang sudah dibiasakan. Persoalannya, jika hanya setengah jam, sejam, tak masalah. Ini? Berjam-jam. Memangnya yang punya kesibukan situ doang?

Kita lupa, bahwa di belahan dunia sana, ada yang dengan disiplinnya menerapkan apa yang sedang kita abaikan.

Yogyakarta, 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun