Mohon tunggu...
Erda R Asyira
Erda R Asyira Mohon Tunggu... -

Peneliti Pariwisata, Pembangunan Masyarakat dan Perencanaan dan Penulis Novel "From Borneo to Hawaii" 

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jogja Miskin, Bodoh, Tolol dan Tak Berbudaya, Benarkah?

30 Agustus 2014   12:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:06 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari lalu masyarakat Jogjakarta digerahkan dengan penyebaran statement merendahkan di media sosial. Ia adalah mahasiswi yang merantau di Jogjakarta dan menuntut ilmu di kampus biru, yang kesal lantaran tidak dilayani di POM Bensin. Banyak respon yang muncul, seperti kecaman di media sosial, pengusiran, bahkan ada juga melakukan unjuk rasa di jalan. Tulisan ini tidak akan membahas tentang si pembuat status karena bukan ranah saya, namun lebih kepada melihat fakta dari umpatan yang dituduhkan pada Jogja. Meskipun ungkapan tersebut adalah ungkapan kekesalan, namun hal itu menggelitik saya untuk googling dan mencari fakta fakta tentang Yogyakarta. Karena jangan jangan memang benar adanya demikian.

(FS) memaki di media sosialnya menggunakan empat kata yaitu miskin, bodoh, tolol dan tak berbudaya. Empat kata ini akan kita coba jadikan indikator untuk mengukur posisi Jogjakarta di mata Indonesia menggunakan data data BPS dan data lainnya yang mendukung. Kata miskin menggunakan ukuran tingkat kemiskinan (poverty indicator), kata bodoh bisa dilihat dari pendidikan (education), kata tolol dilihat dari perilaku keseharian dan kata tak berbudaya dilihat dari indikator budaya tangible dan intangible (cultural indicator). Nah, mari kita periksa bersama secara perlahan lahan.

Miskin (poverty) ?  Bisa Jadi, Namun...

Menurut data BPS (2013) di Pulau Jawa ini, DIY merupakan provinsi paling miskin, angka kemiskinan (incidence poverty) DIY pada September 2013 mencapai 15,03 %, atau sebanyak 535,18 ribu orang. Itu artinya, 15 dari setiap 100 orang penduduk DIY tergolong miskin dengan pengeluaran kurang dari Rp 303.843 per bulan. Meskipun tergolong tinggi, penduduk dengan konsumsi dibawah standar BPS di Yogyakarta terus mengalami penurunan. Tingkat kemiskinan di perkotaan lebih kecil dari pada tingkat kemiskinan di pedesaan. Dimensi kemiskinan yang lain adalah tingkat kedalaman poverty gap index dan tingkat keparahan poverty severity index. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2). Pada periode September 2012- September 2013 mengalami penurunan. Indeks kedalaman kemiskinan turun dari 2,89 pada September 2012 menjadi 2,13 pada September 2013. Demikian pula Indeks keparahan kemiskinan turun dari 0,75 menjadi 0,46 pada periode yang sama (BPS 2013). Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin juga semakin menyempit.

Namun perlu diketahui bahwa penduduk miskin dan wilayah miskin sangatlah berbeda. Kemiskinan suatu wilayah dilihat dari ketersediaan sumber daya alam di dalam wilayah tersebut dan potensi potensi pengembangan yang di prediksi akan memberikan nilai tambah di masa mendatang. Yogyakarta memang tidak memiliki SDA yang banyak jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia, jumlah kegiatan ekonomi pertambangan misalnya hanya memberikan share pada wilayah sebesar 0,67 %. Kendati demikian Yogyakarta memiliki potensi pengembangan di bidang pariwisata dan pendidikan.

Untuk level wilayah dalam hal ini pada tinjauan level Provinsi, DIY memang bukanlah provinsi dengan pendapat perkapita yang cukup tinggi, DIY berada di peringkat ke 20 dari penyumbang PDB Indonesia. PDRB per kapita dihitung berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan dibagi dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun. Nilai nominal PDRB per kapita DIY atas dasar harga berlaku tahun 2013 mencapai Rp 17,98 juta. Lapangan usaha yang cukup dominan dalam perekonomian selama dua periode terdiri dari sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor jasa-jasa dengan kontribusi sekitar 20 persen. Kontribusi terbesar selanjutnya adalah sektor industri pengolahan; sektor konstruksi; dan sektor pertanian dengan kontribusi di atas 10 persen. Kontribusi PDRB DIY terhadap total PDRB 33 provinsi di triwulan IV 2013 sebesar 0,84 persen dan memiliki peringkat terendah di Pulau Jawa. Secara nasional, andil PDRB DIY menempati peringkat ke-20. Peringkat DIY dalam andil PDRB tergolong rendah, hal ini disebabkan karena cakupan wilayah yang sempit dan jumlah penduduk yang sedikit. Selain itu, DIY memfokuskan lokus pembangunan pada pendidikan dan budaya sehingga tidak terlalu banyak aktivitas ekonomi yang berskala besar.

Kendati demikian, ada hal yang menarik dari Yogyakarta yang perlu FS ketahui yaitu meskipun persentase penduduk miskin di DIY paling tinggi se Jawa, capaian pembangunan manusia di provinsi merupakan salah satu yang terbaik di Jawa (Ruslan, 2014). Untuk mengetahuinya kita menggunakan tren perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Menurut data, pada tahun 2012 skor IPM DIY sebesar 76,75 poin. Angka tersebut merupakan angka tertinggi ke dua di Pulau Jawa setelah DKI Jakarta (78,33 poin). Di Indonesia merupakan angka tertinggi ke empat setelah Sulawesi Utara dan Riau. Hal ini dapat diartikan bahwa tingkat kapabilitias diantaranya diukur dari angka harapan hidup, kualitas pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan penduduk DIY merupakan salah satu yang terbaik di Pulau Jawa. Menurut Ruslan (2014), apabila kita menelisik berbagai indikator kesejahteraan penduduk DIY, lalu membandingkannya dengan provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa, semakin jelas bahwa secara umum tingkat kesejahteraan penduduk DIY adalah salah satu bahkan boleh dibilang yang terbaik di Jawa meski persentase penduduk miskinnya masih tinggi. Jadi, jika FS mengatakan masyarakat Jogja miskin, bisa jadi jika diukur dari tingkat konsumsi dan pendapatn, kendati demikian miskinnya orang Jogja masih lebih sejahtera dibandingkan miskin di provinsi lain.

Bodoh (pendidikan) ? -- Kurang tepat

Kata kedua yang dituliskan FS adalah bodoh. Apakah benar masyarakat Jogja adalah masyarakat yang bodoh? Mari kita lihat dari data sektor pendidikan.

Pertama kita lihat dari jumlah penduduk yang masih buta huruf (usia 15+), ternyata menurut data terdapat 17,82% penduduk Jogjakarta masih buta huruf dan rata rata nasional adalah 15,24%. Artinya jumlah penduduk yang buta huruf di Yogyakarta tergolong tinggi dibandingkan dengan prosentase rata rata jumlah masyarakat buta huruf di Indonesia.

Kedua kita lihat dari Angka Partisipasi Sekolah, di Yogyakarta APS usia 7 – 12 tahun sebesar 98,77% lebih besar dari rata rata APS nasional 96,77%; APS 13 – 15 tahun sebesar 95,02% lebih tinggi dari rata rata APS nasional 83,49%; APS 16 – 18 tahun sebesar 74,96% lebih tinggi dari rata rata APS nasional 53,48% dan APS 19 – 24 tahun sebesar 47,00% jauh lebih tinggi dari rata rata APS nasional 12,07%.

Ketiga kita lihat dari Angka Partisipasi Murni yaitu persentase siswa dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama, di Yogyakarta APM SD sebesar 98,72% lebih besar dari rata rata APM nasional 95,53%; APM SMP sebesar 75,82% lebih besar dari rata rata APM nasional 73,72% ; dan APM SMA sebesar 64,92% lebih tinggi dari rata rata APM nasional sebesar 53,89%.

Keempat ketersediaan fasilitas pendidikan. Dari data yang ada, penyebaran sekolah untuk jenjang SD/MI hingga Sekolah Menengah sudah merata dan menjangkau seluruh wilayah hingga ke pelosok desa. Pada tahun 2008, terdapat 2.035 SD/MI, 529 SMP/MTs/SMP dan 381 SMA/MA/SMK negeri maupun swasta. Selain itu, hal lain yang perlu dilihat adalah ketersediaan ruang belajar yang memadai untuk rasio siswa, 22 siswa untuk SD, 33 siswa SMP dan 31 siswa SMA/MA/SMK. Data yang perlu dilihat lagi adalah rasio ketersediaan tenaga pengajar atau guru, dimana sudah memenuhi rasio siswa dengan guru. Jumlah perguruan tinggi di Jogja sebanyak 136 institusi, dengan rincian 21 universitas, 5 institut, 41 sekolah tinggi, 8 politeknik dan 61 akademi diasuh 9.736 dosen.

Jadi ungkapan Bodoh untuk DIY  terasa kurang tepat, karena sebenarnya DIY telah memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi dunia pendidikan di Indonesia dan mencetak banyak kaum cendekia, meskipun angka buta huruf tergolong tinggi.

Tolol ? -- Kurang tepat

Agak sulit untuk menentukan indikator ketololan seseorang atau masyarakat. Hal ini karena ‘tolol’ adalah sebuah perilaku kebodohan, dimana perilaku bodoh pun juga diartikan sangat beragam. Bisa saja sebenarnya jika ingin serius melakukan survey, tetapi karena tulisan ini mengandalkan data data sekunder semata maka marilah kita coba dekati dengan data yang kira kira bisa menggambarkan makna tolol ini. Untuk mendekati ukuran dari tolol, BPS menyediakan data yang cukup menarik sebagai bagian dari indikator sosial budaya, dimana saya kira cukup bisa memberikan gambaran seberapa update nya seseorang dari informasi. Meskipun sesudah mendapatkan informasi masyarakat bebas menentukan apakah akan berperilaku bodoh atau tolol tersebut. BPS memiliki empat data tentang jumlah masyarakat yang mendengarkan radio,persentase masyarakat yang menonton siaran televisi, persentase masyarakat yang mengakses internet, dan prosentasi masyarakat yang membaca koran.

Masyarakat DIY ternyata merupakan masyarakat yang gemar mengikuti berita dan perkembangan informasi dan hiburan. Hal ini terbukti di hampir semua data yang disajikan DIY selalu berada pada tiga besar provinsi yang terakses dengan radio, internet dan koran serta 10 besar sebagai pemirsa tv. Prosentasi masyarakat yang mendengarkan radio di Jogjakarta adalah yang tertinggi di Indonesia yaitu 34,37% dimana rata rata nasionalnya adalh 18,57%. Prosentase masyarakat yang menyaksikan televise di Yogyakarta adalah 94,36% dimana rata rata di Indonesia adalah 91,68%. Dalam hal akses terhadap media cetak/koran, masyarakat DIY menempati urutan kedua pembaca koran terbanyak di Indonesia setelah Kepulauan Riau, dimana terdapat 34,66% masyarakat yang membaca koran dan secara nasional hanya 17,66% masyarakat yang membaca koran. Untuk akses internet, masyarakat Jogja merupakan pengguna ketiga terbesar di Indonesia setelah Jakarta dan Kalimantan Timuryaitu sebanyak 24,49 %. Dari data tersebut kita bisa melihat bahwa masyarakat Jogja adalah masyarakat yang sangat terpapar dengan informasi, cukup mudah bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi sekaligus hiburan. Asumsinya apabila sebuah masyarakat cukup memiliki akses informasi dan menggunakan akses tersebut maka semestinya masyarakat tersebut tidaklah bisa dikatakan tolol.

Tak Berbudaya? -- Tidak tepat

Nah ini menarik untuk dilihat. Kalimat tak berbudaya ini nampaknya belum selesai, karena masih menimbulkan tanda tanya, tak berbudaya, maksudnya tidak berbudaya baik? Atau tidak berbudaya buruk? Karena jika ada interaksi di dalam sebuah masyarakat tentunya akan membentuk budaya dengan sendirinya, sudah otomatis. Budaya dalam American anthropologi diartikan menjadi dua makna, yg pertama evolusi dari kapasitas manusia untuk mengklasifikasikan dan merepresentasikan pengalaman dengan simbol dan kegiatan yang mencirikan pengalaman yang dikreasikan sendiri; kedua budaya adalah cara hidup manusia yang berbeda, dikelaskan dan di representasikan oleh pengalaman mereka. Jadi tidak ada sebuah masyarakatpun yang tidak memiliki budaya di dunia ini.

Beberapa ahli budaya membuat klasifikasi budaya tangible (fisik) dan intagible (non fisik) untuk memudahkan dalam pemahaman budaya. Budaya fisik adalah yang terlihat, seperti benda cagar budaya dan non fisik seperti gagasan, sistem nilai atau norma, karya sendi, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat. Mari kita lihat satu persatu, DIY tercatat memiliki 625 bangunan cagar budaya yang tersebar di 13 kawasan cagar budaya, terbagi atas periode prasejarah, klasik, islam dan kolonial (bisa dilihat di data Badan Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta). Selain itu, berbagai hasil budaya yang sifatnya tangible juga dilestarikan di berbagai museum di Jogjakarta. Terdapat 30 museum yang masih beroperasi sampai hari ini. Bahkan UNESCO mencatat Candi Prambanan sebagai salah satu world heritage sites. Jumlah penemuan hasil budaya tangible ini termasuk yang paling besar di Indonesia. Dari sisi intangible keberadaan keraton yang masih eksis dengan sebentuk bangunan dan system tradisinya merupakan kekayaan budaya intangible yang luar biasa bahkan diakui di dunia internasional. Sistem nilai masih dianut oleh masyarakat meskipun sudah berbaur dengan modernitas. Apalagi jika dilihat dasar filosofi yang adiluhung yaitu Hamemayu Hayuning Bawana, sebagai cita cita luhur untuk mewujudkan tata nilai kehidupan masyarakat Yogyakarta berdasarkan nilai budaya. Melihat fakta ini sulit bagi saya menyimpulkan jika masyarakat Jogjakarta adalah tak berbudaya.

Dari uraian tersebut jelas bahwa masyarakat Jogjakarta boleh tak punya uang karena tak suka belanja dan tak banyak pemasukan, namun cukup bahagia karena sehat, aman, rukun, sejahtera, angka harapan hidup tinggi . Masyarakat Jogjakarta juga tidak bodoh terbukti jumlah partisipasi pendidikan jauh lebih tinggi dari rata rata nasional, jumlah rasio guru dan murid yang memenuhi standar, dan jumlah fasilitas pendidikan yang sudah memenuhi rasio dan terjangkau. Masyarakat Jogjakarta juga tidak bisa dikatakan tolol karena mereka adalah masyarakat yang terpapar informasi baik melalui radio, televisi, koran dan internet bahkan termasuk kelas terbesar di Indonesia. Terakhir, masyarakat Jogja juga sulit dikatakan tidak berbudaya, karena faktanya budaya tangible maupun intangible masih terlihat dan terasa dengan jelas. Pada dasarnya masih banyak indikator lain yang bisa digunakan untuk mengukur sebuah kota/wilayah yang tidak saya uraiakan dalam tulisan ini.

Semoga tulisan ini memberikan cara pandang baru, untuk lebih mengenal Jogjakarta terutama bagi para pendatang, dan untuk para penduduk Jogja selamat Anda sejahtera, tidak bodoh, tidak tolol, dan berbudaya. Salam damai Jogja Istimewa.

Pemerhati kota, Direktor Indonesia Tourism Watch (ITW), Peneliti di Pusat Studi Pariwisata UGM, PhD candidate di Utrecht University Netherland. Warga Jogjakarta.

Sumber:

http://yogyakarta.bps.go.id/ di unduh pada tanggal 29 Agustus 2014

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/01/12/benarkah-diy-adalah-provinsi-termiskin-di-pulau-jawa-624080.html - di unduh pada tanggal 29 Agustus 2014

"What is culture?". Bodylanguagecards.com. di unduh pada tanggal 29 Agustus 2014

http://www.purbakalayogya.com/info-perlindungan.htmldi unduh pada tanggal 29 Agustus 2014

http://www.pemda-diy.go.id/ di unduh pada tanggal 29 Agustus 2014

http://www.bps.go.id/ diunduh pada tanggal 29 Agustus 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun