Dalam kehidupan ini banyak sekali hal-hal yang selalu mengganjal diri kita. Kesalahan masa lalu, perbuatan jahat, perilaku tidak menyenangkan, dan perasaan-perasaan bersalah yang selalu berputar-putar dalam ingatan. Semua perbuatan tersebut dapat timbul karena perbuatan kita sendiri ataupun orang lain. Kita terkadang melupakan bahwa pemendaman rasa marah, kebencian, kebohongan, dan keegoisan hanya merusak batin kita sendiri. Kita-pun tanpa menyadarinya melupakan bahwa orang yang kita benci sebenarnya juga mempunyai kesulitan-kesulitan tersendiri. Pernahkah kita belajar untuk coba memahaminya?
Pepatah kuno mengatakan, “Ketika seseorang menyebutmu idiot, semakin sering kamu mengingatnya, maka semakin seringlah mereka telah menyebutmu idiot!”. Hal ini menjelaskan bahwa ketika kita segera melepaskannya, kita tidak akan pernah memikirkannya kembali. Paling banyak hanya satu kali saja mereka menyebut idiot. Sudah selesai, dan kita bebas.[1]
Kita seringkali memelihara kesesakan dalam hati dan selalu memupuknya subur. Mengapa kita masih tidak bisa melepaskannya?. Mungkin kesesakan dan kebencian tersebut seakan menjadi satu zona nyaman dalam diri kita, ini dibuktikan dengan sulitnya seseorang melepaskan dan mencari kedamaian di sana. Kita pernah membaca kalimat “forgive but never forget”. Kalimat tersebut menunjukkan kekuatan dendam kita masih melekat kuat meskipun memaafkan sudah menjadi akhir penyelesaian masalah (mungkin pada kala itu).
Jika memaafkan berarti melupakan segalanya, mengapa kita masih mengingat perbuatan yang tidak mengenakkan kita?. Jika memaafkan belum dapat meredakan amarah kita, mungkin kita belum mencapai tahap “melepaskannya”, “menerimanya”, atau “memahaminya”.
Bagaimana kita dapat menciptakan kedamaian bagi orang lain sedangkan kita belum dapat berdamai dengan diri kita sendiri. Memaafkan merupakan sebuah perbuatan yang memang susah untuk dilakukan, tetapi seharusnya dilakukan. Memaafkan bukan hanya berdampak besar untuk orang lain, tetapi kita-pun akan menerima dampak tersebut, dampak positif lebih tepatnya. Jika kita berkomitmen untuk memaafkan, kita seharusnya juga melepaskan, melupakan, dan meninggalkan kesalahan-kesalahan dan semua perbuatan yang mengganjal diri kita.
Banyak orang mengatakan bahwa memendam rasa marah, dendam, dan kesalahan orang lain seperti menyimpan bara api di kepala. Kita selalu terpenjara dan tertekan selama ingatan kita hanya itu-itu saja. Memaafkan juga berarti telah melepaskan diri kita dari penjara-penjara dan ikatan-ikatan yang kita buat, lebih tepatnya kita melepaskan diri dari penjara keegoisan kita.
Kemelekatan terhadap masa lalu bukanlah suatu teori, melainkan suatu sikap. Kita dapat mengatakan, “Oh, saya tidak melekat.” Atau kita dapat mengatakan, “Saya sama sekali tidak melekat, bahkan tidak melekat pada ketidakmelekatan tersebut,” yang terasa sangat bijak dan terdengar sangat indah, tetapi semua itu hanyalah sampah. Tahukah kamu jika kamu melekat, tidak bisa melepaskan hal-hal penting yang menyebabkanmu menderita, maka hal ini akan menghalangi kebebasanmu.
Kemelekatan laksana bola besi dengan rantai yang terikat di kakimu. Tidak ada orang yang mengikatkannya padamu. Kamu memiliki kunci untuk membebaskan dirimu, tetapi kamu tidak menggunakannya. Mengapa kita begitu membatasi diri kita sendiri dan mengapa kita tidak bisa melepaskan segala urusan dan kekhawatiran terhadap masa yang akan datang?.[2]
Setiap agama dan kehidupan sosial mengajarkan untuk mencintai satu sama lain, mengasihi, bahkan memaafkan. Dalam ajaran agama Kristen, memaafkan itu tidak ada batasnya. Pada Injil Matius 18 ayat 22 mengatakan bahwa memaafkan itu sebanyak 70x7 kali. Maksud dari ayat tersebut adalah, memaafkan itu tidak ada batasnya, kita harus selalu memaafkan orang lain tanpa imbalan, tanpa pamrih, dan bukan hanya di mulut saja, tetapi kesungguhan dari hati.
Pada Injil Roma 12 ayat 21 mengatakan “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!.” Memaafkan merupakan suatu bentuk sikap kasih yang paling nyata. Ketika orang lain melakukan kesalahan yang membuat hal tersebut selalu mengganjal di hati kita, maka tutupilah hal tersebut dengan kasih, karena kasih menutupi segala hal yang tidak baik. Melalui kasih, kedamaian hati dan pikiran akan tercapai, sehingga kita akan memaafkan dan melepaskan segala ganjalan di hati kita.
Paulus dalam Injil Matius 5 ayat 44 berkata “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Cukup dengan berdoa dan mengasihi musuh, kita akan mendapatkan kedamaian itu. Kita tidak perlu selalu mengingat kesalahan-kesalahan musuh kita yang hanya akan membuat penderitaan pada diri kita sendiri. Karena Paulus juga mengatakan pada Injil Roma 12 ayat 19 bahwa “Janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan”.