Salah satu hasil keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama  (Munas Alim Ulama NU), yang digelar di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Kota Banjar, Jawa Barat tanggal 27 Februari 2019, menyepakati untuk tidak lagi memakai kata kafir untuk untuk menyebut warga non muslim. Kata kafir dianggap mengandung unsur kekerasan teologis.
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Abdul Muqsith Gozali berdalih, kata "Kafir" yang selama ini digunakan untuk melabeli warga non muslim telah menyakiti hati non-muslim. Penggunaan kata ini pun diganti dengan istilah "Muwathinun" yang artinya adalah warga negara.
Sontak hasil Munas Alim Ulama NU itu mendapat respon negatif dari berbagai masyarakat muslim lainnya. Menurutnya penggantian kata kafir dalam menyebut warga non muslim bertentangan dengan Al Quran. Â Bahkan, tak sedikit pula yang menuding NU sudah terkontaminasi dengan politik. Sehingga, berbagai kebijakan yang dilahirkan NU tidak agi murni untuk kepentingan agama semata.
Pendapat lain berpandangan bahwa sikap alim ulama NU tersebut sesungguhnya berniat baik untuk menghargai atau menghormati pemeluk aama lain, namun sikap tersebut dinilai sebagai sikap yang lemah alias tidak tegas, sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Quran : "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah TEGAS terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka..." (QS. al-Fath: 29).
Sementara Ketua Aswaja Centre Pusat, KH Misbahul Munir menjelaskan bahwa istilah kafir dan non-Muslim adalah permasalahan pemilihan kata yang dalam ilmu bahasa dinamakan dengan diksi. Menurutnya, dalam konteks ke-Indonesia-an pemilihan kata non-Muslim lebih baik dan lebih sejuk.Â
Dengan begitu maka istilah "Muwathinun" (warga negara) tidak tepat sebagai pengganti kata "Kafir" (non-muslim) karena beda pengertian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H