Mohon tunggu...
Rindang Ayu
Rindang Ayu Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga mulai menekuni bidang sosial keagamaan

Wanita jawa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tepatkah Mengganti Istilah Kafir dengan Muwathinun?

3 Maret 2019   17:45 Diperbarui: 3 Maret 2019   18:04 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Kota Banjar.

Salah satu hasil keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama  (Munas Alim Ulama NU), yang digelar di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Kota Banjar, Jawa Barat tanggal 27 Februari 2019, menyepakati untuk tidak lagi memakai kata kafir untuk untuk menyebut warga non muslim. Kata kafir dianggap mengandung unsur kekerasan teologis.

Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Abdul Muqsith Gozali berdalih, kata "Kafir" yang selama ini digunakan untuk melabeli warga non muslim telah menyakiti hati non-muslim. Penggunaan kata ini pun diganti dengan istilah "Muwathinun" yang artinya adalah warga negara.

Sontak hasil Munas Alim Ulama NU itu mendapat respon negatif dari berbagai masyarakat muslim lainnya. Menurutnya penggantian kata kafir dalam menyebut warga non muslim bertentangan dengan Al Quran.  Bahkan, tak sedikit pula yang menuding NU sudah terkontaminasi dengan politik. Sehingga, berbagai kebijakan yang dilahirkan NU tidak agi murni untuk kepentingan agama semata.

Pendapat lain berpandangan bahwa sikap alim ulama NU tersebut sesungguhnya berniat baik untuk menghargai atau menghormati pemeluk aama lain, namun sikap tersebut dinilai sebagai sikap yang lemah alias tidak tegas, sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Quran : "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah TEGAS terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka..." (QS. al-Fath: 29).

Sementara Ketua Aswaja Centre Pusat, KH Misbahul Munir menjelaskan bahwa istilah kafir dan non-Muslim adalah permasalahan pemilihan kata yang dalam ilmu bahasa dinamakan dengan diksi. Menurutnya, dalam konteks ke-Indonesia-an pemilihan kata non-Muslim lebih baik dan lebih sejuk. 

Dengan begitu maka istilah "Muwathinun" (warga negara) tidak tepat sebagai pengganti kata "Kafir" (non-muslim) karena beda pengertian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun