Beberapa tahun lalu saya lebih senang menghabiskan waktu-waktu antara Mei hingga Juni seperti ini di bukit-bukit atau gunung di Lampung. Di masa panen raya seperti ini saya bisa turut bergembira melihat wajah-wajah ceria penuh kepuasan. Musim panen yang berarti tak ada alasan mereka untuk berdiam diri di rumah berbalut sarung. Musim panen yang harus disambut dengan suka cita. Musim panen yang berarti masa-masa paling makmur bagi anak-anak petani kopi yang sedang studi di kota. Meski orangtua saya bukan petani kopi, nyatanya saya cukup akrab dengan perjalanan panjang kopi.
Ingatan saya melayang pada masa tiga tahun silam. Saat itu saya menemani Ikke, seorang sahabat yang melakukan penelitian terkait kualitas biji kopi di Lampung Barat. Semua mungkin tahu, Lampung Barat adalah daerah penghasil biji kopi berkualitas tinggi. Kami menyusuri jalanan berkelok yang mengitari kaki Bukit Rigis dengan pemandangan alam yang menakjubkan. Bukit yang menyimpan kenangan pahit konflik masa lalu. Bukit yang kini berbahagia dengan masyarakatnya yang peduli akan pentingnya menambah dan mempertahankan luas tutupan lahan.
Seorang sahabat kami tinggal di sana. Di sebuah kampung bernama Way Tebu. Ayahnya mempunyai kebun kopi yang berbatasan dengan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis. Dia yang menjadi pemandu kami berkeliling ke beberapa kecamatan sekitar. Udara dingin menusuk tulang dengan sesekali turunnya hujan tidak menyurutkan niat kami untuk berkeliling dari petani satu ke petani lainnya. Pemandangan yang sama di mana-mana. Hamparan biji-biji kopi yang di jemur di halaman rumah dan gurat-gurat bahagia para petaninya.
[caption id="attachment_417395" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pribadi - Penjemuran kopi di tanah"][/caption]
Tidak sedikit dari mereka yang menjemur kopi langsung di atas tanah. Metode penjemuran tanpa alas inilah yang menjadi fokus penelitan Ikke untuk melihat cemaran yang ada dalam biji-biji kopi. Cemaran baik fisik, kimia, maupun mikrobiologis. Para petani juga masih banyak yang melakukan pemetikan kopi secara asalan. Entah merah, jingga, atau hijau mereka tidak peduli. Biji-biji itu kemudian tercampur dengan standar kualitas ‘kopi asalan’. Sangat disayangkan, sedikit dari mereka yang cukup sabar untuk memilah dan memilih untuk melakukan petik merah.
Lalu bagaimana dengan kualitas kopi organik dan non organik? Itu juga sama. Semua dihargai sama oleh para pengepul kopi. Hal ini menyebabkan petani enggan bersusah payah melakukan pertanian organik. Sebagai komoditas ekonomi, harga sangat berkuasa. Ketika petani tidak merasa bahwa kerja keras mereka dihargai lebih, maka mereka enggan melakukan peningkatan kualitas.
[caption id="attachment_417396" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pribadi - Kopi asalan"]
Para petani yang faktanya adalah para penduduk pendatang, hidupnya juga bergantung dari hasil hutan. Kopi hanya dipanen sekali dalam setahun, sedangkan hutan tersedia dengan cuma-cuma. Hutan perlahan menurun daya dukungnya hingga konflik kepentingan terjadi di Lampung selama bertahun-tahun. Ini terjadi tak hanya di Lampung Barat, tapi juga di Lampung Tengah, Tanggamus, dan Pesawaran. Hingga kawan-kawan dari berbagai lembaga mencoba untuk menjembatani kepentingan masyarakat secara ekonomi dan keutuhan hutan yang lestari. Watala membantu masyarakat untuk mendapatkan haknya melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) untuk Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Melalui kelompok-kelompok HKm inilah masyarakat mendapatkan akses untuk mengelola Bukit Rigis yang rusak. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok untuk memudahkan akses pasar dalam menjual hasil panennya.
Lampung merupakan pemasok kopi robusta terbesar di Tanah Air dengan produksi rata-rata 100-131 ribu ton per tahun dengan luas areal kopi mencapai 173.670 hektare. Produktivitas kopi Lampung 883 kg per hektare dengan sentra produksi di Kabupaten Lampung Barat (65.010 ha), Tanggamus (43.897 ha), dan 22.594 ha tersebar di Kabupaten Way Kanan, Lampung Utara, Pringsewu dan Pesawaran (Sumber: Antara, 6 April 2015).
[caption id="attachment_417398" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pribadi - Secangkir kopi tanpa gula, susu, atau krimer"]
Bertahun-tahun kopi bagi saya hanyalah sebentuk bubuk hitam yang harus ada di dapur. Bubuk hitam yang membuat Ibu rela menyangrai biji-biji hijaunya dengan api dari tungku kayu bakar. Saya hanya tahu bahwa wadah yang dipakai harus terbuat dari tanah liat agar biji-biji kopi mendapat panas yang merata. Lantas biji hitam itu masih harus ditumbuk menggunakan lumpang dan alu. Aroma kopi menguar setiap pagi yang mampu menyeret saya bangun dari tempat tidur setelah teriakan Ibu bahkan membuat kami bergeming. Uar kopi itulah yang menjadi senjata Ibu untuk membangunkan kami.
Kemudian saya kuliah dan mendapatkan materi pengolahan pasca-panen kopi. Saya masih merasa bahwa kopi itu biasa saja. Saya diajari bagaimana melakukan sortasi biji kopi secara manual. Saya masih menganggap bahwa kopi hanya mempersulit hidup manusia. Sungguh perjalanan secangkir kopi yang merepotkan!
Kesan itu berakhir seiring intensnya aktivitas saya di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung di akhir masa studi S1 saya. Kantornya tepat berada di depan UKM kopi yang selalu menebarkan kafein seolah menjadi penyemangat kami sehari-hari. Di sana saya benar-benar bergaul dengan penikmat kopi. Saya pun akhirnya benar-benar bersahabat dengan kopi. Saya bisa melihat bahwa kopi bukan sekedar cairan hitam di cangkir-cangkir yang harus saya cuci. Kopi merupakan media yang menyatukan beberapa kepala. Itu kenapa saya selalu bertemu dengan kopi di rapat-rapat, di warung makan, di rumah-rumah, di hotel, hingga di kedai kopi yang menawarkan harga sangat fantastis. Harga secangkir kopi yang bahkan hanya diperoleh petani untuk sekilo kopi mereka jika berkualitas tinggi. Ya, nyatanya kopi bukan saja komoditas ekonomi dan sosial, tapi juga politik.
[caption id="attachment_417399" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pribadi - Upaya rehabilitasi Tahura dengan tanaman keras diantara kopi"]
Saya menyaksikan beratnya perjuangan petani kopi sejak berkunjung ke Sistem Hutan Kemasyarakatan (SHK) di kaki Gunung Betung, Pesawaran. Tidak jauh berbeda dengan sistem HKm di Bukit Rigis dan Ulu Belu, di sini awalnya masyarakat terlibat konflik atas lahan di Taman Hutan Raya. Untuk sampai ke sana, kami harus melewati jalanan aspal dengan gunung di sisi kanan jalan dan pantai di kiri jalan. Hingga sampai di desa di kaki gunung kami dijemput oleh ojeg yang telah menunggu. Jangan bayangkan tukang ojeg dengan sepeda motor keluaran terbaru, rompi seragam, dan helm. Ojeg gunung memanfaatkan motor trail atau motor lainnya yang sekiranya kuat untuk melewati jalanan sempit dan tebing-tebing yang membelah hutan selama dua jam tanpa perlengkapan safety riding!
[caption id="attachment_417400" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pribadi - Ojeg gunung"]
“Mundur Mbak,” kata tukang ojeg itu kalau kami harus melewati jalanan menurun. Itu memudahkan dalam menjaga keseimbangan. Saya juga harus maju ke depan ketika jalanan menanjak dan terjal. Terkadang saya harus berteriak dan memejamkan mata sampai sang rider meyakinkan saya,”percaya aja sama saya, Mbak. Paling kita terperosok jurang!” Huwaaaa... malah menambah mimpi buruk!
Di sana saya tinggal di sebuah rumah papan milik pimpinan kelompok tani. Setiap malam kami lewati dengan pertemuan-pertemuan ditemani kopi dan gorengan ala kadarnya. Angin dingin yang membacok sampai ke tulang sudah dianggap biasa oleh mereka. Saya sangat rindu menikmati aroma bunga kopi yang mekar ditemani temaram lampu neon dari tenaga listrik kincir air swadaya masyarakat.
[caption id="attachment_417402" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Ikke Almiati - Menjemur kopi di kaki Gunung Betung"]
Sesekali saya juga menikmati kopi luwak gratis di salah satu rumah petani di Bengkunat, Pesisir Barat. Kondisi jalanan yang berbatu dan naik-turun tidak jauh berbeda dengan perbukitan lain untuk mencapainya. Luwak-luwak di sana merupakan luwak liar. Inilah yang menjadi rahasia terciptanya kopi luwak dengan rasa yang sulit diungkapkan lewat bahasa aksara. Bukan dari luwak langka yang diperangkap dan dipaksa makan untuk menghasilkan setidaknya sekilo kopi perhari.
Di sana mereka bertanam kopi dengan skema HKm dan beberapa ada juga Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang hingga saat ini masih berkonflik dengan pihak swasta. Di mana ada tambang uang, selalu saja ada karut marut yang disebabkan oleh pemilik modal. Alih-alih membantu masyarakat kecil, mereka justru membuatnya menderita.
Seperti kita ketahui bersama bahwa alasan masyarakat yang paling utama ketika mereka memutuskan untuk masuk kedalam hutan adalah motif ekonomi. Masyarakat butuh makan, butuh biaya hidup untuk menyekolahkan anak mereka, juga biaya kesehatan. Benar saja jika ada ungkapan bahwa orang lapar bisa membunuh siapa saja. Demi perut, manusia rela melakukan segalanya.
[caption id="attachment_417401" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Ikke Almiat - Anak-anak yang masa depannya bergantung pada kopi"]
Ketika masyarakat mulai masuk dan melakukan kegiatan “pengelolaan” hutan, mereka telah melakukan suatu pelanggaran atas hukum yang dibuat oleh negara dan menyalahi prinsip kepemilikan lahan yang seharusnya mereka pahami. Terkecuali jika memang sudah ada nota kesepahaman antara masyarakat (baca:petani) dengan pihak yang berwenang. Misalnya saja ketika memang suatu lahan diperuntukkan bagi kegiatan masyarakat baik itu melalui program kemitraan, HKm, HTR, maupun Hutan tanaman Industri (HTI).
Sebagaimana yang terjadi di Kecamatan Ngambur, Pesisir Barat, pada 18 Maret 2011 silam. Dengan serta merta polisi hutan melakukan pengusiran dan pembakaran gubuk dan tanaman warga yang yerada di Taman Nasional Bukit Barisan selatan (TNBBS) dan menangkap enam warga. Sementara dari pihak warga merasa belum menerima sosialisasi apapun dari Dinas Kehutanan.Padahal di kawasan itu masyarakat mempunyai tanaman produksi seperti kopi, kakao dan sebagainya dengan investasi yang tidak sedikit. Ketika itu tim polisi kehutanan dihadang oleh ribuan massa yang bergerak serentak menghadang aksi mereka. Hal ini juga memicu respon negatif dari masyarakat terhadap kebijakan yang dinilai kurang bijak yang diterapkan di daerahnya.
[caption id="attachment_417517" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Tim Kerja HTR mandiri "]
Hutan tidak hanya dikonversi oleh masyarakat dan kaum pendatang, tetapi juga oleh perkebunan milik swasta dan pemerintah dalam skala yang besar. Hal tersebut sering menyulut terjadinya konflik. Akibatnya, sering terjadi perselisihan antarpihak yang merasa berkepentingan dengan lahan tersebut menjadi wilayah konflik yang paling sering terjadi.
Masyarakat yang sudah lama mengelola hutan tidak mungkin pergi dari lokasi untuk mencaripekerjaan di kota. Tingkat pendidikan mereka kebanyakan rendah. Selain itu, hal ini juga akan menambah permasalahan di perkotaan yang mengiringi meningkatnya angka urbanisasi. Sementara di desa mereka tidak mungkin dapat menghidupi keluarga. Pemikiran yang semacam ini tentu akan menghambat kemajuan daerah dimana masyarakat hanya mau bekerja mengelola hutan. Sementara daerah mempunyai sumberdaya alam dan manusia yang begitu besar yang kurang termanfaatkan.
[caption id="attachment_417407" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pribadi - Kopi di antara pisang, cabai, pinang, lada, cempaka, dan lainnya di HKm Ngudi Rukun, Bengkunat"]
Upaya nyata telah diterapkan oleh KOMIT WWF di Tampang, Tanggamus, mereka menggulirkan program Sekolah Lapang bagi masyarakat yang mengelola hutan atau melakukan kegiatan pertanian di hutan. Mereka kini dengan sukarela melakukan intensifikasi lahan mereka sendiri. Mereka lebih mempraktekkan sistem pertanian yang maju dari pada bergantung pada kegiatan berladang di hutan yang sudah jelas dilarang. Sistem ini bukan tidak mungkin dapat dipraktekkan di kawasan lain yang dengan masalah serupa. Para petani diajarkan bagaimana cara bertani yang baik sehingga hasil produksi lahan mereka maksimal. Dengan memberdayakan segala potensi yang mereka miliki, mereka dapat melakukan intensifikasi pertanian daripada mengupayakan ekstensifikasi. Dengan mengedukasi masyarakat di daerah, tentu akan memperluas paradigma berpikir masyarakat sehingga nantinya mereka tidak perlu lagi bergantung pada bantuan pihak lain. Upaya pendampingan dari berbagai pihak yang dirasa perlu dan dapat berperan dalam upaya peningkatan perekonomian petani di daerah tersebut.
Sebagaimana ditampilkan sekilas dalam film Filosofi Kopi, selalu ada konflik kepentingan di bidang ini. Memang, tanaman kopi di hutan jauh lebih baik daripada kebun kelapa sawit. Tapi kebun monokultur sangat tidak baik untuk kesuburan tanah. Selain itu petani juga tidak mungkin hanya mengandalkan hasil panen kopi. Seperti di beberapa tempat yang acapkali saya kunjungi, mereka menanam kopi di antara lada, pisang, cabai, dan beberapa tanaman keras. Selain sebagai sumber pendapatan, aktivitas pengelolaan ini juga untuk mencapai fungsi hutan sebagai penyedia oksigen, air, dan habitat bagi berbagai organisme dan mikroorganisme.
Saya justru takjub dengan upaya yang di lakukan Departemen Agriservice Nestle Lampung. Pihak swasta yang melakukan pendampingan petani kopi di Tanggamus. Kini petani tidak lagi memanen kopi secara asalan. Bahkan mereka percaya bahwa kualitas kopi juga ditentukan dari rasa, bukan sekedar lolos seleksi defect semata. Artinya, para petani mulai menyadari pentingnya alur proses untuk menghasilkan biji kopi terbaik dari lahan yang mereka kelola. Kemudian mereka juga harus berpikir bagaimana memperlakukan kopi setelah dipanen.
[caption id="attachment_417403" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pribadi - Yang dibesarkan dengan kasih sayang"]
Petani menjadi aware untuk mempraktekan teknik tanam, panen, hingga pasca panen untuk menghasilkan profil cup taste kopi yang baik. Kemitraan seperti inilah yang sudah selayaknya ditiru oleh pihak lain dalam membangun bisnis untuk mencapai manfaat bersama. Bahkan para petani tidak harus menjual hasil panen kopinya kepada Nestle. Mereka bebas menjualnya atau melalui Kelompok Usaha Bersama (KUB) dengan syarat kualitas masing-masing. Nyatanya untuk bisa diakui di dunia, kopi harus memenuhi aspek sosial, lingkungan dan ekonomi dalam proses produksi, pengolahan hingga pemasarannya.
Kopi adalah komoditas mahal di dunia perdagangan internasional. Masyarakat kita bahkan tak semuanya mampu menikmati kopi yang dihasilkan dari keringat petani lokal secara utuh. Kebanyakan dari kita mengenal ‘kopi jitu’. Kopi siji, jagung pitu. Sebuah ironi di negera yang masuk tiga besar penghasil kopi dunia. Indonesia yang harusnya menikmati kopi enak dengan 1,3 juta hektar perkebunan kopi, 1,6 milyar dolar nilai ekspor kopi, 750 ton produksi, 950 g perkapita konsumsi kopi dalam negeri (Data Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia).
Saya selalu suka menikmati kopi tanpa gula. Sesekali saya mencoba merasakan pahitnya kehidupan para petani dengan manis yang terselip. Menyeruput perlahan jerih payah usaha mereka untuk menjaga hutan tetap lestari. Menghirup uarnya dalam-dalam seolah saya sedang menikmati secangkir kopi di kebunnya. Berteman aroma bunga yang putih bersih dan wangi. Bercengkarama dengan petani dan anak-anaknya. Bercerita tentang anggota keamanan perusahaan yang tidak lagi merusak tanaman. Atau berkhayal tentang masa depan petani kopi yang gemilang.