Pagi ini ku cium aroma tanah basah sisa hujan semalam. Masih ada petir dan kilat membentuk kelebat putih di atas langit yang ku rasa sedang berduka.
Yaa... rasa malas dan lunglai ku alami pagi ini. Bukan karena cuaca yang mendukung untuk menarik selimut kembali atau rasa ingin yang mendalam menikmati Semangkuk mie kuah dengan toping telur, sawi, dan irisan cabai yang menggugah hati.. Â (Hmmm seketika air liur ku ingin keluar dari mulut ini). Seketika ingat akan jadwal padat yang sudah ku atur sedari kemarin. Bergegas ku tarik handuk di gantungan dekat pintu kamar.
Hari ini sudah ku bulatkan niat untuk melakukan perjalan panjang dengan durasi lebih kurang 1 jam. Yaa.. 1 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan pribadi roda dua. Kendaraan mungil yang katanya boros bensin. Membayangkan perjalanan satu jam dengan menembus kendaraan roda empat yang besar dan debu yang cukup tebal sudah membuat kuduk bergedik. Ku tampis perasaan tidak enak ini, ku siapkan peralatan tempur hari ini. Â Tidak lupa ucapkan pamit kepada kedua orang tua tercinta di pagi yang kelabu ini.
Baru mau melangkah mengeluarkan kendaraan kesayangan. Ku lihat tetangga yang tidak bukan masih saudara jauh ayah sedang berdiri bak konferensi bundar, mereka saling mendengarkan bahkan saling berbagi informasi dari berbagai desa maupun toko sebelah, tak dapat dihindari juga dari saudara mereka sendiri. Â Menurut filosofi saat ini "Semakin miring bibir, semakir aktual pesan yang disampaikan". Tidak luput pasti nanti topik terhanganya adalah aku. (tambah kuat perasaan aku, bahwa aku juga pasti terkena gossip mereka).
Rasa cuek dan acuh mulai ku tebarkan saat melihat mereka. Sudah mempersiapkan juga kalimat sapaan yang sopan. Tapi, baru saja mau menghidupkan kendaraan kesayangan,
tiba-tiba salah satu dari mereka nyeletuk. "Lihat tu anak gadisnya Bu Mince, bolak balik kampus tapi tidak wisuda juga". (Sindir ibu berbaju kuning dengan motif bunga-bunga yang merekah karena bolong dimakan usia). Ditambah bumbu oleh ibu berbaju merah jambu yang niatnya ke warung untuk belanja sayur malah gosip dahulu karena berita hari ini terlihat seru. "Iya tu, belum wisuda, belum nikah juga. Gk malu apa dianggap perawan tua ya?"
Seketika jantung ku berdesir mendengar perkataannya. Ini bukan pertama kali, tetapi sudah kesekian kali. Coba bayangkan saja bagaimana rasanya kita yang berjuang, orang lain yang komentar. Â Rasanya sakit sekali untung ini hati bukan ciptaan negeri tirai bambu, tapi ciptaan Tuhan yang tiada duanya.
Ku gas pelan si "Mita" kendaraan pribadiku yang telah menemani selama 7 tahun lebih ini. Walau tenaganya sudah tidak sehebat dulu tapi si Mita lah yang setia menemi ku mengukur jalan dan menikmati debu. Ku klakson tetangga itu sambil mengulas senyum kearah mereka. Walau sakit hati, sopan santun tetap ku jaga dengan baik, agar nama orang tua ku tetap terjaga baik.
Rasanya getir melangkah ke kampus hari ini selain ada rasa putus asa. Rasa sedih karena dianggap perawan tua dan ditambah rasa malas karena jadwal dosen hari ini yang tidak menentu. Gontai ku lalui lorong demi lorong kampus. Hingga membuat aku sampai di parkiran kampus.
Hingga pukul 17.00, ku lalui jalanan dengan segudang pikiran yang berkecamuk, kuliah sudah semester 7, usia sudah tua, pacar tak punya dan omongan tetangga menyakitkan hati yang tak kuasa ini. Hanyut dalam pikiran membuat ku tak konsentrasi dalam bekendara hingga terdengar brummm... brakkk... brak....
Tak terdengar kembali suara berisik dan suara hati...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H