PENGUMUMAN ujian nasional siswa SMA dan sederajat sudah berlalu. Tapi, kesedihan, kekesalan dan kekecewaan siswa yang tidak lulus UN tidak akan pernah berakhir. Perasaan gagal dan hancur itu akan menjadi bagian dari diri mereka,sepanjang hayat. Sayangnya, tidak semua siswa mampu menyikapi kebijakan UN yang tidak adil ini dengan rasional. Tidak lulus UN adalah kehancuran masa depan. Akhir dari kehidupan. Sehingga, berbagai ekspresi kekecewaan mewarnai pengumuman UN SMA.
Para siswa yang tidak lulus di SMAN 02 Tegal, Jawa Tengah berteriak-teriak dan menangis histeris ketika surat pengumuman yang dibungkus amplop putih itu dibuka dan tertulis TIDAK LULUS. Sejumlah siswa pingsan menerima kenyataan dirinya tidak lulus UN. Bahkan, kebijakan UN yang masih kontradiksi sampai kini telah memicu tindakan anarkis siswa di SMAn 1 Kindang, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sejumlah siswa mengamuk, berteriak, melempari sekolah dengan batu dan merusak bangku sekolah.
Mencoba memposisikan diri sebagai siswa masa kini, semua tindakan itu terasa wajar. Rasa ketidakadilan memenuhi rongga nurani para siswa. Mereka tidak tahu kemana harus mengadu. Masa depan mereka dipertaruhkan. Dipermainkan. Maka, guru dan sekolah menjadi sasaran terdekat menumpahkan kekesalan. Ternyata dilema inilah yang dirasakan para guru. Beberapa oknum guru rela mengorbankan kejujuran demi kelulusan siswa mereka. Edaran kunci jawaban dan tindakan curang menjadi sebuah pilihan sulit. Ketika UN dijadikan penentu kelulusan, mental dan moralitas generasi bangsa menjadi taruhannya.
Mengintip ke masa lalu, tahun 1998, saat pengumuman kelulusan siswa di sMAN Lubuk Sikaping, Pasaman, Sumatera Barat, tidak ada persiapan khusus. Usai upacara, siswa masuk ke kelas masing-masing. Setelah diberi pengarahan, siswa bisa melihat pengumuman kelulusan di selembar kertas yang ditempel di papan pengumuman. Selanjutnya, siswa yang lulus bisa mengambil berkas ke ruang guru. Semudah itu. Setenang itu.
Beberapa siswa dinyatakan tidak lulus dan harus mengulang setahun lagi. Siswa itu kecewa, tertunduk, menitikkan air mata. Tapi, tidak ada teriakan histeris, tidak ada kemarahan membuncah. Siswa itu sadar, dirinya memang belum pantas untuk diluluskan. Ketika itu, penentu kelulusan siswa adalah para guru di sekolah tersebut. Guru yang mengenal satu persatu individu siswanya selama 3 tahun. Tidak hanya dari segi intelektualitas, tetapi juga etika siswa, keunikan dan potensi masing-masing siswa. Penilai secara utuh terhadap siswa secara individu.
Adik-adikku, maafkan aku, hanya bisa menonton kesedihan kalian. Menonton kehancuran kalian. Kalian semua hanya korban. Entah sampai kapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H