Beberapa waktu lalu, sejumlah media baik cetak maupun online memberitakan sebuah kabar terkait nasib sekelompok Orang Rimba, masyarakat adat yang mendiami pedalaman hutan di Provinsi Jambi. Orang Rimba telah turun-temurun tinggal di area Taman Nasional Bukit Duabelas, sebuah ekosistem seluas 60.500 ha dan hutan penyangga sekelilingnya yang menghampar di empat kabupaten, yakni Batanghari, Sarolangun, Tebo, dan Merangin.
Setelah mengadu kepada Gubernur Zumi Zola, perwakilan Orang Rimba mengaku diintimidasi dan diusir dari lokasi yang selama beberapa generasi ini menjadi lokasi tinggal mereka, tepatnya dalam kawasan sebuah perusahaan kebun karet di wilayah Terap, Kecamatan Bathin XXIV.
Kawasan berpenghuni 169 KK itu dahulunya merupakan hutan Orang Rimba yang mereka sebut sebagai tanah peranoon (tanah tempat melahirkan), tanah pusaron (tanah kuburan), dan tempat bebalai (pernikahan).
Selain itu, kawasan hutan itu merupakan sumber kehidupan Orang Rimba yang menyediakan hewan buruan serta berbagai tumbuhan buah dan hasil hutan lainnya.
Pembelaan dari pihak perusahaan adalah bahwa keberadaan Orang Rimba mengganggu aktivitas operasional mereka. Sebelumnya, telah ada kesepakatan antara pihak perusahaan dengan masyarakat bahwa Orang Rimba diberikan hak untuk mengelola lahan seluas 114 hektar dalam skema perhutanan sosial hutan kemitraan.
Namun sayangnya, sepertinya pola berpikir kedua belah pihak tidak sejalan. Pihak perusahaan mengklaim bahwa perjanjian tersebut belum ada dasar legalitasnya, sedangkan bagi Orang Rimba, sebuah janji itu adalah sakral, dan harus dipenuhi. Orang Rimba tak mengenal hukum di atas kertas.
Meski tidak ada data rinci yang dapat dijadikan rujukan, diperkirakan lahan hutan yang dijadikan wilayah konsesi perusahaan mencapai angka jutaan hektar. Industri kehutanan dan perkebunan, serta pertambangan menguasai konsesi lahan ini.
Mata pencaharian masyarakat yang tinggal di sekitar hutan erat hubungannya dengan pemanfaatan hasil-hasil hutan, misalnya berburu, berladang, dan berkebun. Semua aktivitas yang berorientasi pada hutan tersebut telah berlangsung selama beberapa dekade hingga berabad-abad, sehingga telah menjadi bagian tak terpisahkan dengan masyarakat hutan.
Bukan hanya untuk pangan, kebutuhan lain juga diambil dari hasil hutan, misalnya membangun rumah dari kayu dan dedaunan. Demikian juga halnya dengan peralatan kerja yang mereka gunakan sehari-hari untuk berladang sampai memasak, bahan bakunya berasal dari hutan baik sebagian atau seluruhnya.
Dilema Pembangunan Ekonomi dan Dampak Sosialnya
Kepemilikan lahan hutan oleh korporasi menjadi dilema tersendiri. Bisnis yang kini telah berjalan bertahun-tahun lamanya itu di satu sisi memutar roda ekonomi dan menyerap tenaga kerja dalam skala besar. Tetapi di sisi lain tak bisa dipungkiri bahwa adalah mustahil untuk mengakomodasi semua pihak. Hanya segelintir saja yang benar-benar menikmati benefit dari berjalannya operasi perusahaan berbasis hutan ini, mayoritas lainnya justru masih tak tersentuh perbaikan taraf kehidupannya.