Petani adalah ujung tombak dalam ketahanan pangan sebuah negara. Indonesia meski telah mulai menuju era industri, namun tak dapat mengingkari jatidirinya sebagai negeri agraris. Sayangnya, potret petani kita masih dipenuhi nuansa buram. Bahkan data menunjukkan jumlah petani nasional makin menurun. Namun bukan berarti tidak tersisa harapan. Masih banyak petani yang memilih setia di bidangnya, bahkan semakin memerhatikan kualitas dan kuantitas pekerjaannya.
Salah satunya adalah Suryono. Petani kelahiran Medan 40 tahun lalu ini kini telah menuai hasil jerih payahnya dengan menjadi petani hortikultura sukses di Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak, Riau. Akan tetapi kesuksesan itu tak didapatnya secara instan. Roma tak dibangun hanya dalam semalam, demikian pula kisah sukses Suryono.
Sebelum menekuni profesi sebagai petani, Suryono mengaku sempat mengarungi ‘masa kegelapan’. Ia pernah menjadi pembalak liar guna menyambung hidup. Suryono menuturkan bahwa ia dan sejumlah temannya secara diam-diam mendatangi hutan yang telah mengantongi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yaitu izin resmi untuk memanfaatkan hasil hutan alam.
Area hutan dijaga oleh petugas keamanan, namun ia selalu berhasil mencari celah untuk masuk-keluar hutan tanpa terdeteksi petugas. Setelah itu, kayu yang ia tebang tanpa izin itu dijualnya ke beberapa pihak, termasuk ke perusahaan sekitar. Ada juga sebagian kecil kayu tersebut ia jual ke individu. Proses penjualan kayu ini tentu saja dilakukan secara sembunyi-sembunyi, 'underground'. Praktik ini dilakukan oleh Suryono lebih kurang selama satu tahun.
Kebun sawit yang ia kelola mulai menghasilkan, untuk satu hektar sawit Suryono dapat meraup sekitar Rp 2-3 juta per bulan. Namun sebagaimana kita ketahui, perkebunan sawit bukanlah pola bercocok tanam yang berdampak ramah terhadap lingkungan. Dari mulai pembukaan lahannya yang lazim menggunakan metode tebang-bakar, hingga karakteristik sawit yang membutuhkan air serta menyerap unsur hara tanah dalam jumlah sangat banyak. Ini menjadikan lahan sawit tidak dapat ditanami secara terus menerus.
Lambat laun, Suryono menyadari bahwa praktik bercocok tanam yang dilakukannya tidak memenuhi unsur berkelanjutan. Selain itu, ia menghadapi masalah legalitas akan lahan gambut yang ia garap. Lahan tersebut, beserta lahan milik masyarakat lainnya mengalami sengketa dengan perusahaan pengelola Hutan Taman Industri (HTI) setempat. Meski pada akhirnya terdapat kesepakatan dengan perusahaan, ia berpikir keras bagaimana agar ke depan ia dapat melakukan praktik pertanian yang lebih produktif sekaligus dapat lebih berumur panjang.
Awalnya ia dianggap gila dan dicibir oleh rekan-rekannya sesama petani. Bagaimana tidak, pada waktu itu belum ada seorang petani pun yang sukses dalam bercocok tanam sayuran di wilayahnya. Nyaris semua petani hanya mengelola sawit, sebagian lagi menanam karet. Selain lebih pasti hasilnya, memang belum pernah ada preseden bahwa petani lokal berhasil dalam menanam sayuran. Terdapat rumor yang terlanjur menyebar dan tertancap kuat di masyarakat bahwa tanah setempat tidak cocok untuk ditanami produk hortikultura.
Suryono berpendapat, rumor ini hanyalah kedok keengganan masyarakat dalam mencoba hal baru. Ia melihat yang sebetulnya terjadi adalah bahwa masyarakat takut mengambil risiko karena sudah terjebak zona nyaman dengan mengolah perkebunan sawit. Ada kecenderungan bahwa masyarakat tidak akan mencoba sesuatu hal baru sebelum melihat sendiri bahwa hal itu dapat berhasil dilakukan. Dengan kata lain, mereka membutuhkan contoh kesuksesan, baru mau mengikuti. Dengan modal kerja keras dan ketekunan, Suryono menjadi contoh pertama kesuksesan tersebut.