Padahal, begitu banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hutan, mulai dari mencari kayu, berburu, berladang, berkebun, hingga berternak. Di sinilah, potensi konflik berakar. Konflik kepentingan antara masyarakat dengan perusahaan ini menimbulkan kecemburuan sosial warga dengan perusahaan, karena merasa mata pencahariannya ‘dicaplok’ korporasi.
Ironisnya kasus yang dimejahijaukan terkait karhutla kebanyakan melibatkan pelaku ‘wong cilik’. Sejauh ini dari 15 perusahaan yang diduga terlibat pembakaran hutan dan lahan 2015 lalu, belum ada satu pun yang diseret ke meja pengadilan.
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti KontraS, JIKALAHARI, ICEL dan ICW mengkritisi putusan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk 15 perusahaan tersebut. Hingga Oktober tahun ini, kabar pemidanaan korporasi masih menggantung dan pemberian SP3 oleh aparat penegak hukum masih belum dapat dipertanggungjawabkan secara logis-argumentatif.
Ini sungguh menyedihkan, karena ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Bukan hanya masalah ketidakpastian hukum saja, masyarakat kecil pun menjadi korban dengan hilangnya sumber penghidupan mereka, ditambah dengan ‘bonus’ terpapar langsung kabut asap yang jelas merugikan kesehatan. Benar-benar sebuah penderitaan ‘paket combo’.
Kegagalan Korporasi dalam Pengelolaan Sumber Daya
Munculnya lapis demi lapis masalah ini menjadi bukti bahwa perusahaan skala besar pemilik konsesi belum dapat menjalankan pembangunan berkelanjutan dalam mengelola sumber daya hasil hutan yang telah dipercayakan kepada mereka. Bisnis yang dimaksud tersebut termasuk di dalamnya industri kelapa sawit, karet, pulp dan kertas, hingga pertambangan seperti timah, emas, batu bara, dan mineral lainnya.
Korporasi hutan selain berkonflik dengan lingkungan, juga senantiasa memiliki isu permasalahan yang pelik dengan masyarakat setempat. Ini akibat interaksi yang dinamis antara perusahaan dengan lahan di wilayah konsesinya yang kerap kali bersinggungan pula dengan interaksi masyarakat sekitar dengan lahan tersebut.
Di celah inilah, warga atau masyarakat lokal sering menjadi sasaran empuk sebagai pihak yang dipersalahkan dalam berbagai peristiwa terkait kerusakan hutan, seperti pembalakan liar, atau kebakaran hutan dan lahan tadi.
Kunci Permasalahan: Pemberdayaan Masyarakat