[caption id="attachment_117696" align="aligncenter" width="384" caption="Desa Penglipuran, sebuah desa adat di Kab. Bangli (Sumber foto: Gorgeousbali.com)"][/caption]
Memasuki kawasan Kabupaten Bangli, setelah lewat perbatasan kota Gianyar, udara mendadak sejuk. Daerah yang melingkupi tempat wisata Gunung Batur Kintamani ini memang yang paling sejuk di Bali. Dengan pohon-pohon dan tanaman hias yang semarak di jalan-jalan, dan lalu lintas yang lengang, kota ini seperti tak tak mudah goyah oleh serangan arus modernisasi. Aktifitas transportasi umum sudah terhenti menjelang petang. Sedang toko-toko pun sudah tutup sebelum pukul tujuh malam. Kegiatan penduduk baru kembali berjalan pada Subuh keesokan harinya.
Pada tahun 1990-an, di saat belum ada satu pun pasar modern di Kabupaten ini, sempat ada dialog antara Bupati Bangli, Ida Bagus Ladip, dengan para pelajar yang membahas mengenai rencana pembangunan supermarket di Bangli. Saat itu sebagian pelajar menyambut setuju. Tapi ada sebagian yang lain yang sebaliknya.
Maka majulah ke depan forum perwakilan pelajar yang tidak setuju. Begini kira-kira argumennya, “Saya sebenarnya senang-senang saja kalau dibangun supermarket di Bangli. Tentu bisa membuat Bangli menjadi kota yang lebih maju tak kalah dengan kota-kota lain di Bali. Tapi saya khawatir. Ibu saya kan sehari-hari berdagang di Pasar Kidul (nama pasar tradisional di Bangli). Nanti kalau ada supermarket, dagangan ibu saya bisa-bisa tidak laku. Karena orang lebih suka belanja di supermarket. Jadi saya tidak setuju dibangun supermarket. Demikian, terima kasih.”
Argumen yang sederhana namun telak keluar dari mulut seorang murid sekolah menengah. Bagaimanapun, pemikirannya hari itu mewakili sekian ratus pedagang pasar tradisional di Bangli. Kalau ada supermarket, bagaimana dengan kami? Apa yang dapat dilakukan? Zaman telah menuntut begitu banyak perubahan. Kita akan menyetir zaman atau kita disetir. Kita akan melindas zaman atau dilindas.
Kalau pasar-pasar modern mulai memasuki daerah-daerah, kita dapat memandangnya dari dua sisi. Di satu sisi hal itu akan membawa kemajuan dan kesejahteraan. Atau di sisi yang lain dapat saja membawa ancaman dan kerugian bagi sebagian masyarakat. Menjadi suatu dilema ketika apa yang dianggap maju di dunia global ini ternyata tidak membawa kemajuan bagi rakyat kita, utamanya rakyat bawah. Diharapkan bahwa kemajuan bisnis ritel modern tidak demikian. Sebab telah begitu banyak keluhan yang menunjuk pada para pelaku bisnis ritel modern. Bagaimana usaha-usaha di bidang ini telah mematikan bisnis rakyat kecil di sekitarnya.
Di kota-kota besar keluhan yang terlontar itu makin lama semakin beralasan, seiring dengan makin menjamurnya pasar-pasar modern, baik dalam bentuk hipermarket, supermarket, midi market, maupun mini market. Sebagai contoh, salah satu yang menuai kekhawatiran adalah pembangunan hipermarket dan supermarket yang gedung-gedungnya tak lagi mesti bertempat di pinggiran kota, seperti seharusnya, namun sudah banyak berdiri di tengah-tengah atau pusat kota. Agaknya pembangunannya pun sudah tak mempedulikan keseimbangan tata kota ataupun AMDAL.
Contohnya di ibukota, tiba-tiba saja sudah ada gedung-gedung hipermarket dan supermarket di mana-mana, dalam waktu singkat dan dalam jarak yang berdekatan pula. Nyata tak begitu peduli dengan dampak kemacetan lalu lintas yang menyertai sekitarnya. Ada pula dampak psikologis yang mendorong masyarakat kita menjadi masyarakat yang konsumtif, terlebih bahwa tak sedikit dari barang yang di jual di pasar-pasar modern tersebut adalah barang-barang impor. Bahkan perusahaan induk franchise-nya pun impor.
Sejatinya konsep supermarket telah ada sejak 1930, dan berkembang pertama kali di Amerika Serikat. Idenya bermula dari pengamatan bahwa masyarakat membutuhkan one stop shopping. Ini dipicu dari mulai digunakannya lemari es atau kulkas, sehingga masyarakat cenderung membeli bahan makanan dalam jumlah banyak untuk disimpan mingguan atau bulanan, tak lagi hanya untuk keperluan sehari. Maka perlu ada toko besar yang menampung banyak produk sekaligus dan lagi pula harga barang dapat ditekan dengan volume barang yang besar ini. Ditambah lagi pada masa itu kendaraan bermotor mulai banyak digunakan orang, sehingga tak masalah jika seseorang ingin berbelanja banyak ke tempat yang jauh.
Penggabungan konsep harga barang yang murah (karena penjualan produk dengan skala besar), penyediaan lahan parkir, dan sistem swalayan (self-service) inilah yang melahirkan sebutan supermarket, bukan market biasa.
Terjadilah perubahan gaya hidup masyarakat secara masif. Kalau tadinya produk-produk yang banyak dijual adalah home-made, maka dengan adanya supermarket, jualan berganti produk massal, alias dihasilkan dari pabrik. Kalau tadinya satu toko menjual satu jenis barang tertentu, maka supermarket menjual hampir semua barang yang dibutuhkan masyarakat. Ada sembako, pakaian, alat-alat rumah tangga, elektronik, bahkan stand penjualan properti.