Oleh: Rinawati Acan Nurali
Masyarakat jagat media sosial, tengah heboh dengan fenomena yang tengah terjadi di lingkungan masyarakat Pulau Taliabu. Isu pernikahan yang dilakukan seorang pemuda Turkey di Pulau Taliabu, tepatnya di desa Wolio yang berada di kecamatan Tabona, Taliabu Selatan. Menjadi perbincangan hangat yang terus digoreng dalam media sosial, sebagai pemuda dengan bahasa dan budaya yang sangat jauh kontras dengan pasangannya menjadi sebuah pemandangan unik bagi masyarakat umum Pulau Taliabu.Â
Satu hal yang menjadi menarik bagi penulis untuk menurunkan tulisan ini, bukan pernikahan antar etnik yang dilakukan oleh pemuda Turkey dan pemudi yang berasal dari Pulau Taliabu, namun validitas terhadap pemilik budaya yang melihat secara kasat mata suatu tradisi dengan corak khas pakaian yang digunakan untuk di identifikasi bahwa pemudi yang berasal dari Pulau Taliabu itu adalah etnik atau suku yang berasal dari Pulau Buton.
Sebagaimana pernyataan Martin Bulmer dalam Liliweri "etnik atau yang disebut kelompok etnik, adalah satu kelompok kolektif manusia dalam penduduk manusia yang luas, yang memiliki kenyataan atau cerita asal-usul sama, mempunyai kenangan terhadap masa lalu, yang terfokus pada satu atau lebih unsur simbolik yang mendefinisikan identitas kelompok, seperti kekerabatan, agama, bahasa, pembagian wilayah, tampilan nasionalitas dan fisik (suku bangsa dan fisik) yang anggotanya sadar bahwa merupakan anggota dari kelompok tersebut. Begitu juga dengan yang dikatakan oleh Susanne Langer, kelompok etnik itu memiliki peranan dan bentuk simbol yang sama, memiliki bentuk kesenian dan art yang sama yang di ciptakan dalam ruang dan waktu mereka, jadi ada imajinasi yang sama atau arsitektur yang sama,yang mereka ciptakan secara virtual. Dengan menciptakan arsitektur itu, maka mereka menggambarkan diri mereka, hubungan mereka dengan orang lain, membentuk sistem peran, fungsi dan relasi, serta struktur dan sistem sosial. [1]
Sehingga menarik untuk diulas, bahwa dalam lingkup tertentu. Masih kentalnya ikatan kepemilikan corak budaya, bahasa juga art yang ditampilkan secara visual. Yang menjadi identitas suatu etnik tertentu. Sebagaimana saat masyarakat jagat media maya, mengidentifikasi pengantin yang tengah melakukan upacara adat pernikahan dengan menggunakan simbol-simbol, juga pakaian yang dibuat dengan corak khas yang ditandai sebagai pemilik budaya etnik tertentu.Â
Juga yang paling menonjol saat seseorang menggunakan suatu pakaian dimana yang disebut dengan sarung Leja (sarung Buton) dengan corak hitam putih, juga warna putih yang dicampur dengan merah mudah sebagai ciri khas warna yang sering divisualkan sebagai pemilik corak etnik tertentu. Rasa kepemilikan budaya yang begitu tinggi dengan citra yang ditampilkan.
Pernikahan antar etnik, seperti yang terjadi di Pulau Taliabu antara pemuda Turkey dan pemudi lokal, tidak hanya mencerminkan pertemuan dua budaya yang berbeda, tetapi juga menyoroti dinamika sosial-budaya yang lebih dalam terkait identitas, simbolisme, dan validitas kepemilikan budaya. Dalam konteks ini, kita bisa melihat bagaimana masyarakat berinteraksi dengan pernikahan tersebut, terutama dalam pengidentifikasian etnik melalui simbol-simbol budaya yang ditampilkan.
Fenomena ini menggambarkan betapa kuatnya ikatan identitas budaya pada dalam masyarakat. Ketika masyarakat melihat pakaian dan simbol yang dikenakan oleh pengantin, mereka tidak hanya melihat dua individu yang bersatu dalam ikatan pernikahan, tetapi juga sebuah representasi dari nilai-nilai, sejarah, dan tradisi yang melekat pada masing-masing etnik. Dalam hal ini, pakaian yang dikenakan, seperti sarung Leja dengan corak khas, menjadi simbol yang kuat dari identitas etnik dan dapat memicu perdebatan mengenai siapa yang berhak mengklaim identitas budaya tersebut.
Penggunaan simbol-simbol budaya dalam konteks pernikahan ini menunjukkan bahwa identitas etnik bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis dan dapat berubah seiring waktu. Ketika seorang pemuda Turkey menikahi pemudi Taliabu, ada pertukaran budaya yang terjadi, di mana kedua belah pihak mungkin saling mempengaruhi satu sama lain.Â
Dalam konteks media sosial, pernikahan ini tentu saja menjadi sorotan dan bisa memicu diskusi yang lebih luas mengenai keberagaman, toleransi, dan pengakuan terhadap identitas etnik. Masyarakat di jagat maya sering kali mengungkapkan pandangan mereka, baik yang mendukung maupun yang menentang, yang mencerminkan kompleksitas dalam memahami pernikahan antar etnik. Diskusi ini dapat membantu membangun kesadaran akan pentingnya menghargai perbedaan dan merayakan keberagaman dalam masyarakat.