Sedang untuk suku Kedai dan Seboyo. Aktivitas perekonomian mereka, sudah dibilang beralih dari bertahan hidup (subsistem) ke aktivitas perdagangan. Dengan bahan pokok perdagangan yaitu rotan, bambu dan sagu menjadi produksi masyarakat alfuru suku Kedai dan Seboyo yang didistribusikan kepada pengusaha kesultanan Ternate.
Namun hal ini (dagangan yang dimiliki masyarakat 𝘢𝘭𝘧𝘶𝘳𝘶 suku Kedai dan Seboyo) dimanfaatkan oleh masyarakat luar dan dimanipulasi 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 harga yang berbeda dari pihak Kesultanan Ternate. Hingga menimbulkan kemarahan yang sangat terhadap pihak yang memainkan harga. Masyarakat alfuru meminta bantuan pada Nouhuijs untuk dicarikan solusi agar pihak Kesultanan bisa membantu. Sehingga dalam catatan Nouhuijs, mengatakan bahwa suku Kedai dan seboyo berhutang jasa pada Kesultanan Ternate tapi tidak dengan suku Mang-ee yang tidak ingin bekerjasama dengan pihak Kesultanan.
Kehidupan bebas yang dijalankan masyarakat alfuru suku Mang-ee, tanpa mau mendapatkan tekanan dan paksaan dari pihak luar mendapatkan sigma negatif dari kapten Valentine yang mengatakan bahwa masyarakat alfuru suku Mang-ee sebagai orang yang pamalas, keji, licik, jahat, dan antipati kepada pihak luar.
Namun fakta yang didapat oleh Nouhuijs, saat berada di hulu Wai Miha masyarakat suku Mang-ee bisa baik dan berbaur meski tetap antisipasi terhadap gerakan yang mencurigakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H