Mohon tunggu...
Rinawati Acan Nurali
Rinawati Acan Nurali Mohon Tunggu... Penulis - Suka jalan, siap mendengarkan, suka. Suka-suka.

Sebagai warga yang baik, selalu ingin berbagi setidaknya lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Romantisme KDRT

3 Februari 2022   12:20 Diperbarui: 3 Februari 2022   12:28 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berbicara keromantisan, pastinya konsepsi kita yang pembaca atau pendengar kata ‘romantis’ selalu tertuju pada hal-hal yang menyenangkan. BUKAN pada Hal-Hal yang menyakitkan. Apalagi di kaitkan pada KDRT yang tentu saja, aktivitas itu adalah hal yang menyakitkan bagi korban baik secara fisik maupun psikis (mental). KDRT bukanlah hal yang romantis, dan tidak akan pernah romantis.

Baru-baru ini, viral sebuah pernyataan dari seorang ustazah yang mengisahkan sebuah kejadian sepasang suami istri yang bertengkar hebat, lantas sang suami melakukan kekerasan pada istri dengan menamparnya. 

Dan dalam kejadian, orang tua perempuan berkunjung kerumah anaknya yang pada saat itu tengah terjadi pertengkaran. Sang anak yang mengalami kekerasan tidak melapor pada orang tua. Dan tentu ini dijadikan sebagai bentuk kesholehan istri yang tidak mengumbarkan perilaku bejat sang suami.

What!!! Apakah ini nyata? Tentu saja ini nyata, sebuah KDRT yang di romantisasikan ini bukan main-main. Perempuan yang melaporkan perbuatan suami yang tidak semena-mena dianggap tabu dan menjadikannya sebagai istri yang tidak sholeh. Apa seperti itu bentuk untuk mencapai kebahagiaan dalam rumah tangga. Dengan membuat kepatuhan dan menghamba kepada pelaku KDRT untuk bisa menjamin tentramnya RUMAH TANGGA??

Bagaimana bisa dengan membungkam KDRT, istri di jadikan sebagai seorang perempuan dengan sikap yang romantis. Ini bukanlah sikap yang romantis tapi sikap yang sangat fatalis.

Tidak bisakah perempuan dengan sikapnya dan kemandirian berfikirnya bersikap kritis terhadap apa yang terjadi pada dirinya? Mengapa perempuan selalu dituntut untuk tidak membela haknya? Atau adakah kriteria perempuan yang dijadikan rujukan untuk tidak di lakukan kekerasan? Tentu saja bukan pada perempuannya. Sekeras apapun kejengkelan pada sikap seseorang apalagi itu adalah istri, maka tidak seharusnya lelaki melakukan tindakan yang memicu kekerasan.

Mengapa perempuan atau kelompok penyintas KDRT tidak langsung serta-merta speak up atas apayang terjadi kepada mereka. Pertama, Karena tentu saja para korban merasa malu, apalagi dengan stigma-stigma yang telah terlanjur mengakar dalam masyarakat. Sehingga untuk melaporkan apa yang terjadi pada diri mereka pastinya akan berbelik lagi pada diri mereka dengan stigma yang lebih buruk. Ibarat bumerang yang selalu berbalik arah kembali pada diri orang yang melempar. 

Kedua, korban berharap pasangannya bisa berubah. Sehingga menganggap kekerasan adalah hal yang wajar dan tentu tak jarang diromantisasi. Hal itu tentu tidak menguntungkan jika tidak mendapatkan suport system dan ruang aman untuk korban yang speak up atas kekerasan yang di alaminya.

Maka apa yang disampaikan ustazah ini, adalah bentuk pelemahan terhadap perempuan sendiri. Dimana para korban didorong untuk bungkam terhadap kekerasan yang dialaminya. Sehingga apa yang terjadi korban akan semakin terjerat dalam lingkaran setan yang entah sampai kapan akan berhenti. Yang dibutuhkan perempuan (korban) saat ini adalah bagaimana agar mereka bersikap kritis dan menyadari apa yang terjadi itu adalah KDRT dan bukanlah aib dalam rumah tangga yang berusaha mengakses dukungan untuk keluar dari kekerasan tersebut.

Bukan ceramah yang mendukung perempuan bersikap lemah, tetapi bagaimana caranya agar membangun relasi setara, saling menghargai, menghormati, mengapresiasi dan menyayangi.

Karena yang diinginkan setiap orang adalah bahagia dunia akhirat dalam bahtera rumah tangga, bukan berarti harus diam dan patuh terhadap pelaku kekerasan dengan iming-iming Surga di Akhirat tetapi di Dunia mendapatkan Neraka. Maka yang seharusnya, SURGA DI DUNIA SURGA DI AKHIRAT.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun