Sumini berteriak kencang ketika tiba-tiba petir datang menggelegar. Simboknya yang tadi sudah lelap langsung terbangun dan buru-buru masuk ke kamarnya.
"Tenang nduk, mbok nang kene," kata simbok sambil memeluk kepala anaknya itu.
"Aku takut mbok," kata Sumini hampir menangis.
"Ho oh, mbok nang kene, ora tak tinggal."
Suara rintik di atas genteng menandakan hujan sudah mulai turun. Simbok naik ke atas ranjang lalu memeluk anak perempuan satu-satunya itu. Dielus-elus rambut panjang Sumini yang terurai. Sumini membenamkan wajahnya di dada simboknya. Kedua tangannya masih erat menutup telinganya.
"Asu! Asu tenan!"
Laki-laki di pekuburan terlihat memaki-maki. Hujan yang datang mulai menggenangi tanah yang dia gali. Dia harus cepat. Matanya semakin nyalang. Kedua tangannya kuat-kuat mencengkeram tanah. Seolah kesetanan gerakannya semakin kuat dan cepat. Usahanya tak sia-sia. Yang dia cari sudah mulai tampak. Bibirnya meringis puas.
Jedarrr!!!
Petir kembali menyambar, memperlihatkan wajahnya. Laki-laki itu dikenal warga sebagai Ki Sono, salah satu orang yang cukup disegani di Dusun Tunggul.
bersambung
***