Seekor burung menangis, entah apa masalahnya. Tak keras suara yang keluar, hanya sebuah ratapan. Di pagi yang bahkan belum terang ini, sungguh ganjil melihatnya. Tak mungkin jika dia kesiangan, bahkan Mak Udin yang berjualan pecel saja masih menunggu nasinya masak. Burung kecil masih terisak, di sebuah ranting dengan daun yang tersisa satu dua dia bertengger. Tak terlihat saudaranya, tak tampak kawan-kawannya. Air matanya menetes, jatuh di antara daun kemudian turun menyentuh tanah desa yang kering, bagai embun.
Jangan tanya musim apa, bahkan bulan tak bisa lagi jadi penanda. Hujan datang dan tak berhenti kemudian pergi dan tak kembali. Disana kebanjiran dan disini kekeringan. Disana sibuk mengungsi dan disini hampir mati kehausan. Seperti burung yang saat ini sendirian, sangat jarang ditemukan. Dia bukan penyendiri, dia bukan makhluk yang bisa hidup sendiri. Dia terkenal riang, dia tak biasa tenang. Jika saat ini kau melihatnya seperti ini, apa yang bisa kau katakan tentangnya?
Langit semakin cerah, tanda matahari semakin tinggi. Bukan cacing tak ada tapi pastinya sudah mulai sembunyi. Dan Mak Udin yang semakin sibuk meladeni pembelinya yang terus berdatangan bahkan ada yang antri sejak pagi. Apa yang enak? Sedang kurasakan lidahku tak bergetar olehnya. Aku bahkan bisa membuat yang lebih mantap dari bumbu pecel racikannya. Memang belum kulakukan tapi aku yakin aku bisa. Tanyaku kadang begitu menggoda, kenapa mereka rela antri demi nasi pecel berbungkus daun jati yang bahkan tak kemana-mana rasanya. Dan jawabnya membuatku terpana, "karena kenangan ini tak ternilai harganya."
Jika mulut memakan kenangan dan lidah bukan mengecap rasa tapi cerita tentang yang dulu pernah ada dan jaya, tentu aku tak bisa berkata apa-apa. Mulut sudah terlalu sering dicekoki racun, jika mengeluarkan racun tentu tak mengherankan juga. Lidah terlalu sering mengecap pahit, jika tak lagi mampu membedakan rasa bukan hal yang istimewa juga. Yang tertinggal adalah kenangan tentang apa yang dulu tak berharga. Yang ada adalah sisa-sisa dari apa yang dulu jaya. Mak Udin mampu memberikan pada mereka dan mereka menikmatinya tapi si burung kecil, siapa yang memperdulikannya?
Air matanya mulai mengering meski lirih masih terdengar isaknya. Tanyaku semakin memuncak, meminta segera diutarakan tapi melihat wajahnya yang sendu mulutku terkunci. Si burung kecil terkejut, tak menyangka ada yang melihatnya. Meski cukup tinggi pohon yang dipilihnya tapi daun yang tak lebat tentu memudahkanku melihatnya. Diusapnya sisa air matanya, mencoba menyembunyikan gundah yang mendera. Kulemparkan senyum tipis ke arahnya dan dia pun membalasnya.
Ternyata tak sulit membuatnya bercerita. Sesak yang dia rasa membuatnya tak lagi malu mengatakan apa yang terjadi padanya. Dia memang kesepian, dia sendirian, saudara-saudaranya mati karena tak kuat menahan sakit yang mendera tubuh mereka. Saudaranya yang pertama mati setelah beberapa hari mengalami demam tinggi. Seingatnya saudaranya baru makan cacing pagi itu tapi entah kenapa beberapa saat kemudian saudaranya kejang-kejang. Saudaranya yang kedua lebih parah lagi, setelah lelah bermain kejar-kejaran karena haus dia berhenti di sungai dan minum air yang masih tampak jernih itu. Tidak beberapa lama saudaranya mengeluh pusing dan sebelum sempat dibawa ke puskesmas dia sudah menghembuskan nafas terakhirnya.
Nasib teman-temannya tidak jauh beda, sudah ada beberapa temannya yang mengalami nasib yang sama seperti saudara-saudaranya. Jika saat ini dia sendirian itu karena teman-temannya yang masih tersisa memilih pergi bersama keluarga mereka. Mereka tidak mau lagi tinggal di desa yang bukan hanya desa kelahiran mereka tapi juga tempat nenek moyang mereka pernah meninggalkan cerita. Si burung kecil bukannya tidak diajak tapi dia menolak ajakan mereka. Dia belum bisa meninggalkan desa yang telah memberinya banyak kenangan itu.
"Aku bisa saja hidup dengan racun di seluruh tubuhku tapi aku tidak bisa jika membiarkan mereka merasakan racun ini juga," kata si burung yang membuatku bingung. "Bangsa kami sering diburu dan kamu tentu tahu untuk apa," katanya lagi. Aku tahu kadang bangsaku begitu rakus, bukan hanya mengobrak-abrik rumah mereka tapi juga memangsa mereka, meninggalkan hutan gundul dan tak berpenghuni. Bahkan setelah dianiaya dia masih memikirkan hidup mereka, bangsaku. Itukah yang membuatnya menangis?
Setiap pagi dia akan berlomba dengan saudara-saudaranya untuk bangun lebih pagi agar tidak kehabisan cacing. Dia juga bercerita, dulu setiap kali habis bermain dengan saudara-saudara dan kawan-kawannya dia akan menghabiskan waktu di pinggiran sungai. Jika beruntung mereka bisa mendapatkan makanan, ikan-ikan kecil, selebihnya mereka hanya ingin menghapus dahaga saja. Saat ini semuanya tinggal kenangan saja, kenangan manis yang selalu membuatnya menangis jika mengingatnya. Dia tak lagi berani memakan cacing karena tanah tak lagi seperti yang dulu dia tahu, tanahnya penuh plastik dan beracun. Dia tak bisa sembarangan minum karena air sungai yang kadang masih terlihat jernih tidak lebih dari seorang nenek sihir yang siap menangkapnya, membuatnya menggelepar tak berdaya.
Bukan sebungkus nasi pecel yang dia inginkan untuk menggembalikan kenangan masa kecilnya karena lidahnya masih bisa membedakan rasa. Bukan sebungkus kepalsuan atas nama kenangan yang ingin diingatnya. Dia hanya ingin bermimpi sekali lagi tentang desa yang dulu pernah ditinggalinya bersama saudara dan kawan-kawannya. Desa yang tidak mengeluarkan bisa. Desa yang memberinya dedaunan yang membuatnya nyaman bermain dan bernyanyi. Desa yang masih dingin malamnya, menyisakan embun di pagi hari bukan racun yang merenggut nyawa saudara dan kawan-kawannya.
Burung kecil yang malang, mulutku terkunci mendengar kisahnya. Tak ada yang bisa kulakukan untuk mengembalikan apa yang sudah direnggut darinya karena nyawa hanya satu dan tak akan bisa kembali jika sudah kembali ke pemiliknya. Tapi tentang mimpi yang kau minta, kurasa belum terlambat mengabulkannya. Aku bukan penyendiri dan aku tak bisa hidup sendiri, kan kuminta saudara-saudara dan kawan-kawanku membantuku mewujudkan satu mimpi si burung kecil. Bersediakah kalian memujudkan keinginannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H