Mohon tunggu...
Rina Sutomo
Rina Sutomo Mohon Tunggu... Berfantasi ^^ -

Hening dan Bahagia menyatu dalam buncahan abjad untuk ditorehkan sebagai "MAKNA"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rokok di Ujung Jalan

3 Agustus 2016   09:41 Diperbarui: 3 Agustus 2016   11:55 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan sebatang rokok yang kuhisap aku pandangi langit pagi ini. Tuhan tak pernah menjanjikan birunya langit bahkan setelah hujan datang dan petir menyambar. Mendung kadang menjadi bagian dari rencana cerahnya langit yang belum direalisasikan oleh-Nya, bisa jadi. Rokok kali ini membawa langkahku menuju sudut jalanan yang masih sepi. "Apa kurangku dibanding mereka yang bangunnya lebih siang dariku?"

Aku mengajariku untuk memenjarakan dendam yang membuatku mengincar keadaan yang tak semestinya aku lakukan, aku masih dalam batas sadar. Lagi, rokok kuhisap dengan nafas yang berat dan sedikit kutahan. Tuhan belum juga memberiku jawaban yang lebih baik. Aku menerima pekerjaanku dengan baik, dengan baju rapi aku tak pernah terlambat duduk di ruang kantorku, dibanding mereka yang sering mengambil cuti dan datang setengah jam karena alasan macet, bahkan saat ada meeting. Aku tak pernah melakukan kesalahan yang menyebabkanku layak untuk dipecat. Aku tak menemukan titik yang membuat karirku hilang bahkan didepak begitu saja dari kumpulan orang berbaju rapi itu. Tak hanya setahun, lima tahun aku abdikan diri di kantor itu.

Kubanting tas kerja yang kupakai selama lima tahun itu! Kutarik dasi yang terpasang rapi di krah kemejaku. Aku lelah. "Tuhan, aku lelah!" Aku berteriak sekencangnya di pagi ini. Dengan seragam kerjaku aku tak tahu kemana akan kubawa ragaku. Aku masih menutupinya dari orangtuaku. Aku anak satu-satunya yang memutuskan menjadi tulang punggung keluargaku. Sejak dua tahun lalu aku tak mengijinkan beliau bekerja karena usianya yang tak muda lagi. Lagipula aku merasa sanggup menanggung kebutuhan sehari-hari dengan pekerjaanku kala itu. "Bapak, Ibuk, entah bagaimana aku harus mengatakannya."

Sudah sebulan aku hanya berangkat dengan baju rapi, melamar kerja dari sana ke sini. Tak ada jawaban hingga hari ini. Tabunganku pun semakin menipis, ibuk juga harus membeli obat setiap bulannya. Kali ini aku tak punya harapan. Kulangkahkan kakiku tanpa arah yang pasti hingga matahari di atas kepala, rokok telah habis. "Tak ada sarapan untukmu hari ini." Aku menjawab pertanyaan dari perutku yang telah memanggilku sejak pagi. Biasanya aku dapat menikmati roti dan kopi sebelum jam makan siang, duduk di ruang ber-AC dan pekerjaan setumpuk kulakoni dengan sabar. Sebulan ini aku telah menjadi manusia bebas.

Tanpa tas dan dasi aku merasa jalanku kali ini lebih longgar, "Kenapa tidak memakai kaos oblong saja? Mungkin akan lebih bersahabat untuk menyusuri jalanan." Akupun bergegas pulang, mengganti seragam kerjaku dengan kaos oblong dan sandal jepit. Kukeluarkan motor bebekku. Satu-satunya hartaku yang tersisa.

"Dimas, kok ndak kerja Nak?" Ibuku yang sedang mempersiapkan makan siang untuk bapak mengikutiku keluar rumah.
"Kerja Buk." Aku masih tidak punya ide bagaimana menceritakannya kepada ibuku. Tak lama kemudian bapak sudah berdiri di depanku. Akhirnya kuucapkan saja apa yang aku bisa ucapkan, setidaknya aku telah berusaha.
"Buk, Pak, kalau Dimas memilih pekerjaan lain apa Bapak dan Ibuk bakal kecewa?" Ah, nanti saja menjelaskan PHK itu. Pikirku saat itu. Sejenak bapak dan ibuk melongo sambil berpandangan, tak lama kemudian beliau tersenyum lebar. Senyum tanda persetujuan itu kusambut dengan tangan yang memacu motor dijalanan beraspal. Dengan hati lega dan nafas yang bahagia. Bagaimana tidak, aku tak perlu bersandiwara lagi setiap pagi setelah hari ini. Kaos oblong dan sandal jepit pun bisa membuat orangtuaku tersenyum lega.

Aku langkahkan kakiku menuju tempat ini, tempat yang tak pernah kukunjungi sebelumnya. Pasar yang menjual segala macam barang. Aku berkeliling dengan perut yang masih kosong. Lalu kuajak kakiku menuju warung kecil di ujung jalan. Benar saja, aku bisa menemukan makanan masa kecil seharga dua puluh lima ribu di warung ini. Nasi, sayur lodeh, lauk ayam goreng dengan segelas es teh. Makanan masa kecil yang lama tak aku nikmati dari warung sederhana seperti ini. Warung sederhana tempat bapak dan ibuk membawaku kala aku masih duduk di bangku SD. Aku nikmati makananku dengan lahap. Mataku tak berhenti mencari sesuatu yang ingin aku temukan di pasar itu. 

Kenyang perutku menambah semangat kakiku untuk melangkah, motor yang masih ku parkir mungkin akan berteriak kepasanan di bawah mentari. Aku berhenti di depan penjual yang menjaga tumpukan kertas putih, harganya yang murah membuatku mulai berpikir panjang.

Hari itulah aku memulai hidup di alam bebas. Kujalani profesiku sebagai pelukis jalanan. Kaos oblong yang aku pakai tak pernah memaksaku untuk berangkat di waktu subuh, topi lusuhku tak memaksaku untuk duduk di ruang ber-AC yang melarangku untuk merokok, sandal jepit yang kukenakan tak memaksaku menikmati roti dan secangkir kopi saja, banyak pilihan makanan masa kecil yang dapat kujelajahi disiang hari. 

Aku mengawalinya dengan cemoohan dari rekan kerja yang kadang menghampiriku. Juga ucapan miring dari mantan bos yang menjadi motivasiku. Lalu dengan doa bapak dan ibukku aku melanjutkannya tanpa menoleh ke belakang. Setahun menekuninya, kawan lamaku menawariku untuk membuka galeri. Sejak saat itulah pesanan demi pesanan aku dapat. Aku mengerjakannya tanpa seseorang membentakku, aku mengerjakannya ditempat yang aku mau. Sebuah kebebasan yang Tuhan hadiahkan untuk kekuatanku.

Kabar galeriku mungkin sedang booming di bekas kantorku. Siang itu kulihat mantan bos yang memecatku mendatangi galeriku, aku menyapanya masih seperti ketika ia menjadi bosku. Lama bercakap, akhirnya ia berkata, "Tidak menyangka ternyata sesukses ini sekarang." Aku menjawabnya dengan sedikit malu, dialah yang telah mengantarku ke dunia baru dengan kebebasan yang nikmat ini. "Tuhan selalu punya rencana yang luar biasa (meski tak menjanjikan birunya langit bahkan setelah hujan datang dan petir menyambar)."

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun