Malam ini udara bersiap menyambut musim dingin yang segera tiba. Saya nikmati waktu istirahat saya dengan memutar kembali film berbau pendidikan yang telah lama tak saya lihat. 3 Idiots, adalah salah satu film India yang pernah booming beberapa tahun lalu. Selain menyajikan kondisi perkuliahan yang sebenarnya, film ini juga mampu mengocak perut para penonton dengan tambahan percintaan dan komedi yang diracik manis dalam satu cerita. Menariknya lagi, dari awal hingga akhir film ini tak lepas dari berbagai permasalahan tentang pendidikan.
Dimulai dari persahabatan tiga orang yang konyol karena keunikannya masing-masing, dan seorang kutu buku yang hanya menghafal teori serta menganggap teman-teman kuliah sebagai lawannya. Film itu memberikan banyak pelajaran berharga, bahwa ketika menuntut ilmu kita tak hanya harus menghafal teori, namun juga prakteknya dalam kehidupan sosial. Dalam film ini digambarkan rasa setia kawan yang tinggi dari ketiga idiot tersebut. Sebenarnya mereka bukanlah orang idiot dalam artian yang sesungguhya, keidiotan mereka digambarkan dari hal-hal konyol yang mereka lakukan untuk mengatasi masalah bersama. Mulai dari masalah keuangan, lulus bersama, hingga ketika mencari pekerjaan.
Masih tentang dunia pendidikan dan kutu buku, tampaknya ada beberapa hal yang harus digaris bawahi. Jika Bung Hatta pernah membuat kutipan "Aku rela dipenjara, asalkan bersama buku. Karena dengan buku, aku bebas." Bagi saya itu hal yang lumrah bahkan harusnya menjadi motivasi bagi para penerus bangsa agar lebih giat lagi menggali ilmu dari jendela dunia yang tinggal kita buka lembar per lembar saja.
Hampir seluruh orang hebat dengan IQ tinggi mereka rata-rata mencintai buku dengan cara dan ungkapannya masing-masing. Bahkan terkadang untuk menyusun sebuah buku seseorang rela menghabiskan waktunya selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun. Mereka (para orang hebat) tentu memahami arti penting buku bagi kehidupan mereka tanpa harus melupakan kehidupan orang-orang di sekitarnya.Â
Namun sayang, sebagian orang justru terobsesi untuk menjadi hebat dengan buku-buku bacaannya dengan mengabaikan orang-orang di sekitarnya. Ketika di bangku SMA dan kuliah saya memiliki dua orang teman yang lengket dengan buku, bahkan terkadang tas punggungnya mirip punuk onta karena banyaknya buku yang digendongnya. Mereka tak pernah lepas akan buku dan menjadikan teori sebagai santapannya sehari-hari. Namun sayang, ketika ada teman yang menyapa mereka justru tak mengindahkannya. Padahal banyak buku yang menjelaskan etika untuk menjawab salam serta sapaan.Â
Beberapa anak bilang mereka aneh, namun menurut saya mereka hanya sedang belajar melonggarkan otaknya agar muat dengan teori-teori baru yang akan dihafalkannya.
Diantara para pecinta buku saya memandangnya menjadi dua golongan. Golongan pertama, mereka menggali buku untuk mendapat kepuasan dan imaginasi baru, mungkin juga nilai-nilai kehidupan yang baru yang kemudian diamalkannya dalam kehidupan bermasyarakat, ataupun tanpa melupakan orang-orang di sekitarnya. Golongan kedua, mereka mencintai buku lalu menjadikannya sebagai ladang ilmu yang tinggal petik dan dinikmati, sedang hasilnya hanya akan dinikmati sendiri, bahkan terkadang hubungan mereka dengan orang terdekat pun tak membaik karena keegoisannya dalam menjamahi lembaran buku.
Terkadang seseorang mencintai buku secara berlebihan hingga ia melupakan kehidupan di sekitarnya. Tak apalah jika kita ingin menjadi unggul, menjadi pintar, dan menjadi hebat, semua orang memiliki cita-cita masing-masing. Namun permasalahannya tak hanya sampai disitu. Ketika kita ingin menjadi hebat dengan mengabaikan keadaan orang sekitar, lalu kehebatan kita nantinya untuk siapa?
Dalam ulasan sebelumnya saya  juga pernah menyinggung mengenai Alexander Graham Bell. Selain karena penelitiannya, ia menjadi orang hebat karena dari kecil ia telah berkecimpung untuk membantu sesama. Bahkan ia hanya melakukan penelitian pada malam hari, sementara siang harinya disibukkan oleh pekerjaannya sebagai seorang guru.Â
Memang pada umumnya sebagian penulis lebih suka menghabiskan waktunya dengan sahabatnya yang mungkin tak terlalu banyak. Namun dalam kehidupan sehari-harinya mereka akan tetap bersosialisasi dengan banyak orang, bahkan di lain kesempatan banyak diantaranya yang mengadakan berbagai kegiatan sosial, entah itu acara amal, dan lain sebagainya.Â
Banyak yang tak memahami bagaimana mengejar ilmu tanpa harus mengurung diri dalam bingkai kosong yang tak ada kehidupan sosial di dalamnya. Memang setiap orang memiliki karakter, dan kita akan lebih baik ketika menjadi diri sendiri. Namun menjadi diri sendiri bukan berarti tak membutuhkan orang lain, menjadi diri sendiri bukan berarti mengabaikan keluarga dan sahabat.