Lamaran terakhir yang kuterima jatuh pada hari Rabu, tepatnya empat tahun yang lalu.
Aku baru saja melarikan diri dari agenda Sunday Lunch keluarga besarku, hingga akhirnya sampai di tempat itu. Pasir-pasir yang berwarna suram, aku tendang-tendang kesal dengan sneakers abu-abu di kakiku. Tepian laut cerah yang berisik, pasangan yang bergandeng tangan, anak-anak yang berlarian, mereka yang berbahagia – dan aku sendiri, bersandar di tegak batang pohon kelapa. Aku benci mereka yang tertawa, setidaknya untuk akhir-akhir itu saja.
Entah sejak kapan, dunia tertawa dengan menjadikanku simbol wanita matang yang sedang telanjang. Sampai siang itu aku telah menjadi bridesmaid untuk 32 pernikahan kerabat dan sahabatku – meski sebagian dari pernikahan mereka berujung pada surat cerai, “Setidaknya mereka sudah pernah menikah!” seru ibuku suatu pagi. “Aku juga hampir menikah, setidaknya empat kali!” pekikku dalam hati.
Hari itu usiaku genap 31 tahun, dan minggu depannya Flow – sahabatku juga akan menikah. Aku tak bisa menolak untuk menjadi bridesmaid kembali, tepatnya akan menjadi yang ke-33 kali. Aku bersumpah tidak akan membocorkan catatan itu pada siapapun.
“We hope you get married soon!” Ucapan Flow sama seperti yang lainnya. Hanya itu doa terbaik yang ia dan suaminya punya setelah melempar bunga ke belakang dalam balutan baju pengantinnya, sialnya – selama 33 kali itu aku bahkan tak pernah berhasil menangkapnya. Tak masalah, bagiku itu hanyalah seikat bunga duka cita.
Aku benar-benar berduka setelah pernikahan orang-orang dekatku. Trust me, aku orang yang baik. Aku bridesmaid senior, selalu ikut membantu pernikahan mereka mulai dari persiapan hingga selesai acara. Aku bahkan sempat memilihkan sexy night dress untuk malam pertama beberapa dari mereka.
Nantinya, akan ada bayi-bayi baru, dan pada saat itu pula satu-persatu dari mereka meninggalkanku. Tak ada lagi yang bersamaku di Starbucks pada sabtu malam dan main basket di minggu sore. Itu hanya caraku bernegosiasi dengan kesepian – diingatanku seakan mereka telah hilang dari daftar kehidupan.
Aku membenci cara hidup mereka yang tak meninggalkan jejak setelah hari pernikahannya. Seharusnya Bela, Voni, Nike, Flow dan siapapun namanya, seharusnya mereka masih di sini – bermain pasir denganku siang ini.
-Rubahlah cara berpakaianmu. Lelaki menyukai baju yang transparan, sepatu high heels. Apa kau tak ingin menemukan lelaki seromantis itu?-
Hatiku sangat tersentuh saat membaca pesan dari Voni di suatu siang. Aku bukan tak butuh pasangan yang romantis dan agresif seperti Jack Dawson. Tentang baju transparan dan sepatu high heels itu – aku akan menolaknya sampai kapanpun. Aku bukan wanita seperti mereka. Tapi, aku tak pernah lagi jatuh cinta setelah empat tahun berlalu. Setelah aku mengenal mereka – para lelaki yang menghancurkan seleraku tentang pernikahan atau setelahnya.
Tujuh tahun yang lalu aku menolak Ethan, lelaki pertama yang melamarku. Alasannya cukup sederhana, aku tidak ingin menjadi buruh cuci baju, saat dia bilang “Aku ingin kau mencuci dengan tangan. Tagihan listrik terlalu mahal.”