Mohon tunggu...
Rina Susanti
Rina Susanti Mohon Tunggu... Penulis - Mama dua anak yang suka nulis, ngeblog dan motret. Nyambi jualan kopi dan jualan anggrek/tanaman hias. Bisa intip blog saya di www.rinasusanti.com

Mama dua anak, penulis lepas dan blogger. www.rinasusanti.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Enam Alasan Berat Berasuransi

14 April 2015   11:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:07 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan sekali dua kali saya menerima tawaran asuransi, entah dari teman atau telp yang mengaku bekerjasama dengan bank tertentu. Walaupun saya tahu bahwa asuransi penting bukan hanya sebagai proteksi diri juga keluarga tapi rasanya berat menyisihkan penghasilan untuk premi asuransi.

Hal yang membuat saya merasa berat berasuransi diantaranya

Di pandang tidak sepenting kebutuhan lain

Jujur saja, saya masih menganggap asuransi tak sepenting kebutuhan lain jadi tidak memprioritaskannya. Penghasilan lebih di prioritaskan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti; makan sehari-hari, sekolah anak, operasional suami ngantor (makan siang dan bensin),  membayar listrik, telepon dan pam, cicilan rumah, cicilan kendaraan, ada sedikit sisa di simpan sebagai dana darurat.

Memang gaji mengalami kenaikan sekitar 10% setiap tahun tapi kebutuhan pun meningkat. Salah satu contoh naiknya  harga kebutuhan pokok, cicilan rumah pun tak pernah mau ketinggalan. Pertama kali menyicil rumah tahun 2009  1,8 juta, hampir tiap tahun mengalami kenaikan dan saat in cicilan menjadi 2,8 juta. Ehm....

Lha itu salah sendiri ga ngambil cicilan yang flat! Komentar seorang teman. Alasan kami tidak mengambil cicilan flat karena cicilannya lebih tinggi dari umum. Jadi jika kembali ke lima tahun lalu, saat saya mencicil 1,8 juta, si flat sudah 2.5 juta. Jelas tak terjangkau oleh penghasilan kami saat itu. Jika menunda membeli rumah, kenaikan harga rumah cukup tinggi tiap tahun.

Setiap tahun biaya masuk sekolah pun mengalami kenaikan. Kenapa tak memilih sekoah negeri saja yang gratis dan murah? Niat kami memberikan yang terbaik pada anak-anak sejak dini termasuk pengetahuan agama yang memadai.

Tidak usah menyicil kendaraan dan memilih asuransi? Itu pilihan berat juga karena jika kemana-mana mengandalkan transportasi umum malah repot. Kemacetan yang unpredictable, jadi lebih efisien jika kemana-mana menggunakan motor untuk jarak dekat.

Sedangkan dana asuransi, kami merasa berat untuk menyisihkannya.

Mind Set

Jujur saja saya sering berpikir, dulu orangtua saya tidak memiliki asuransi dan baik-baik saja. Ibu dan bapak hanya penjual penganan yang di titipkan di warung dan kantin sekolah dan memiliki lima anak. Boro-boro kepikiran asuransi pendidikan atau kesehatan bisa nyekolahin anaknya aja udah bersyukur banget. Dan alhamdulillah keempat anaknya merasai bangku perguruan tinggi, yang kelima belum.

Tentu saja itu pikiran sempit karena jaman berubah. Sekolah mahal. Sekolah negeri gratis tapi pendukungnya tidak gratis dan saat ini rasanya sekolah formal saja tidak cukup. Globalisasi, menuntut bisa fasih berbahasa inggris juga kreatif.   Artinya anak perlu bekal ilmu selain dari sekolah entah les atau kemampuan lain yang perlu di kembangkan orangtuanya dan itu perlu modal.

Padahal masa tua saya belum tentu seperti orangtua saya, yang alhamdulillah memiliki rumah cukup luas sehingga saat anak-anaknya mandiri, sebagian ruangan bisa di kontrakan. Lha saya tinggal di rumah dengan luas tak sampai ratusan meter. Masa iya menggantungkan masa tua semata pada anak-anak. Jadi asuransi untuk masa pensiun penting. Tapi kembali ke alasan beratnya berasuransi no satu.

Jadi, bismillah saja, Allah swt tahu yang terbaik.

Nah, sangat mungkin jika mind set itu bisa di rubah sececpatnya dan sepenuhnya menggunakan logika, saya  bisa memaksakan diri asuransi atau pemicu diri lebih produktif agar ada penghasilan tambahan untuk beli asuransi.

Kultur kekeluargaan

Salah satu cara, orangtua saya bisa mengkuliahkan saya  adalah dengan gali lubang tutup lubang. Pinjam pada saurada lalu di ganti saat orangtua memiliki uang. Selepas saya kuliah dan bekerja, giliran saya membantu orangtua membiayai adik-adik sekolah, begitu seterusnya.

Tapi walaupun saya di besarkan seperti itu, saya sendiri berjanji pada diri sendiri untuk tidak membebani anak pertama untuk bisa membantu biaya sekolah adik-adiknya lho, karena tahu rasanya berat hehehhe. Kecuali terpaksa.

Sangat mungkin, bukan hanya keluarga saya yang seperti itu, di mana kakak akan membantu biaya adiknya, secara estapet. Saya kira kultur kekeluargaan seperti ini juga yang membuat orang merasa tak terlalu penting/tak perlu memaksakan berasuransi.

Hitungan untung-rugi

Tapi kadang hitungan untung rugi di atas kertas yang menjadi pertimbangan saat membuat suatu keputusan. Seperti halnya soal asuransi.

Kalau di hitung-hitung secara manual berasuransi mungkin rugi ya. Nabung sekian tahun dapatnya hanya sekian puluh juta padahal inflasi naik 10% setiap tahun. Saya pernah melihat hitung-hitungan asuransi yang di tawarkan teman. Di sana ada rincian jika di ambil saat anak masuk tk, dapat 2 juta, anak masuk sd 5 juta. Ehm, padahal saat ini saja untuk masuk sd islam terpadu paling murah 8 juta, belum termasuk seragam dan paket buku.

Lalu saat anak kuliah (sekitar 15 tahun lagi) uang yang cair dari asuransi 50 juta. Ehm, padahal biaya kuliah untuk jalur otonomi saja sekarang sudah lebih dari segitu. Bagaimana 15 tahun lagi?

Saya berusaha agar anak-anak bisa masuk kuliah dengan jalur biasa alias jalur snptn alias jalur anak pintar tapi bagaimana jika tak lolos karena persaingan makin ketat – jumlah anak pintar bertambah? Kalau ingat itu baru terasa pentingnya memiliki dana pendidikan yang cukup.

Sebagain besar orang termasuk saya kadang mengabaikan bahwa ada nilai proteksi dari asuransi bukan sekedar menyimpan sejumlah orang. Proteksi jika penanggung dalam keluarga dalam hal ini Bapaknya anak-anak, asuransi bisa tetap berjalan dan ada dana untuk melanjutkan biaya sekolah anak-anak.

Mendengar pengalaman buruk asuransi dan klaim

Dalam obrolan grup WA teman-teman kuliah, asuransi pernah menjadi topik hangat, pro dan kontra. Yang kontra membandingkan dengan investasi. Ada juga teman yang mengeluh dan memperingatkan untuk tidak tergiur telepon dari asuransi x karena saat asuransi akan di hentikan pada jangka waktu minimal yang di sepakati,  hanya dapat sekian juta, padahal jika di hitung manual sejak pertama kali membayar asuransi, nominalnya besar. Okelah ada biaya administrasi tapi kan harusnya masuk akal, keluh teman ini.

Ehm, saya baru tahu juga ada asuransi seperti itu. Lalu bagaimana saya memastikan sebuah tawaran asuransi benar-benar menguntungkan kedua pihak, karena kadang penjelasan soal asuransi kurang saya mengerti dan sepertinya banyak orang juag seperti itu, hingga munculah kekecewaan dan merasa tertipu.

Asuransi vs investasi emas

Kalau hitung-hitungan soal keuntungan untuk masa depan, dan paling cocok untuk tabungan anak sekolah (dana anak kuliah kelak) katanya investasi emas. Seorang teman pernah mengshare video ilustrasi hitung-hitungannya. Jadi kenaikan inflasi 15 tahun mendatang (saat anak masuk kuliah) akan sebanding dengan kenaikan harga emas. Wow....

Lalu saya teringat sedikit emas perhiasan yang saya miliki. Besarnya lima gram (90 %), di beli tahun 2005 seharga 1 juta,  kini harga jualnya sudah 2.3 juta. Jika setiap bulan saya menabung emas satu setengah gram, dalam 10 tahun ada 60 gram. Dan berapa harga jualnya sepuluh tahun mendatang dengan berat 60 gram. Cukup untuk bekal anak sekolah bukan?

Tapi resikonya jika investasi emas, tidak ada nilai proteksi yang seperti saya sebutkan di point 4. Siapa menjamin umur dan rejeki kita sebagai orangtua sampai ke sepuluh tahun mendatang?

Saya kira, kini sebagian masyarakat mulai paham pentingnya asuransi tapi dengan beragam pertimbangan termasuk penghasilan pas-pasan, mulai mengesampingkan dana untuk berasuransi. Berat jika harus memilih antara asuransi atau untuk kpr rumah heheh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun