Waktu melesat begitu cepat. Tak jarang, melesetkan hitungan. Bagi kenangan indah, dia menjadi erat. Bagi kenangan lain dia menyesakkan.
Aku diam membuka masa. Semalam, kudapatkan pesan pengundang air mata. Joyce, sahabat kecilku telah berpulang. Kami saling mendekap sepanjang hayat, sejak dia datang sebagai tetangga sebelah. Perempuan yang selalu bersibuk, sedikit terbahak dalam wajah kesungguhannya.
Kami terikat dalam rajutan benang. Kesukaannya menyulam, juga segala yang terkait dengan gulungan beraneka warna, menarik perhatianku. Dia berbeda, itu yang aku tahu. Tidak ikut arus, tak juga riuh dalam kicauan. Memilih duduk di kursi untuk merajut. Tak peduli dengan keributan sekitar, tanpa harus menghindari pertemanan.
Kuingat bagaimana aku melihat kesendiriannya yang nikmat di sebuah ruang. Kuhampiri, kudesak seseorang yang duduk di dekatnya hanya untuk berada teapt di sisinya. Dia melirik, lalu tersenyum kecil.
"Kamu siapa?" tanyaku tanpa ragu.
"Joice. Aku adik si Natali. Kamu?" sahutnya ramah tanpa melepas benang yang melingkari jari jemari kecilnya.
"Aku Aini."
"Oh ... anak Pak Hamzah ya?" tanyanya balik. Aku mengangguk sambil terus menatap yang sedang dia kerjakan.
Sejak hari itu Joice menjadi teman yang paling kusuka. Kami punya banyak persamaan. Tak suka banyak bicara, tak suka keramaian. Tanpa kuminta, dia mulai mengajariku mengakrabi benang. Kami membuat kruistik, menyulam, hingga memadukan perca untuk dijadikan hal yang tak terpikirkan banyak orang.
Joice begitu perempuan, segala yang disukai tak jauh dari dunia ketelatenan. Dia ajariku membuat bunga kertas, bunga dari benang, juga dari kancing. Setiap hari, tanpa harus saling berjanji, kami bertemu.
Dia memanggil Papi pada ayahnya, aku memanggil Ayah. Kedua bapak kami cukup akrab, bahkan tak jarang tertawa bersama saat bicara di teras. Saat Idul Fitri, kami undang keluarga mereka menikmati ketupat, saat Natal kami menikmati makan malam bersama mereka tanpa harus mengucap apa pun. Suka cita penuh kehangatan.