Beberapa hari lalu kita membaca tentang bagaimana seorang memberi pernyataan tanpa melihat cermin. Mempertanyakan jasa generasi muda, juga membanggakan keturunan. Pernyataan implisit bahwa dirinya adalah orang yang telah memberikan jasa luar biasa bagi negeri ini. Lupa pada rekam jejaknya sendiri selama ini yang tercatat rapi. Bagaimana dia pernah menjual aset negeri, begitu berambisinya untuk memimpin, dan lupa bagaimana bersikap legawa saat dia dikalahkan.
Ketika seseorang sudah merasa lebih baik dari orang lain, dan bahkan berani merendahkan, terlihat jelas bagaimana kualitas dirinya. Tak ada kesombongan tanpa sebab, sebagaimana penyakit hati lainnya. Bahkan kesombongan, banyak bersentuhan dengan kebohongan, baik secara langsung ataupun tidak.
Berapa banyak orang menutupi ketidaksempurnaannya dengan kesombongan. Dia bersibuk mencari borok orang lain, tanpa mau melihar boroknya sendiri yang semakin membusuk. Dia terus menutupi boroknya, tak mau mengobati atau berusaha menyembuhkannya.
Berapa banyak orang memelihara kesombongan lewat gaya hidup yang terus dipertontonkan dan dibanggakan. Hingga saat segalanya menurun, dia bersikukuh bertahan dengan jalani hidup yang dipenuhi kebohongan.
Manusia memiliki beragam tipe, kita semua tahu. Karena hidup adalah pilihan yang selalu berulang hingga tak lagi mampu memilih saat ajal sudah menghadang.
Ada manusia yang sakit, yang akan sakit, dan yang tidak bisa merasakan sakit.
Saat sakit, ada manusia yang meminta pertolongan, ada yang menahan dan menyimpan rasa sakitnya. Pada yang akan sakit, ada yang menyadari dengan menjaga kesehatannya sebaik mungkin, ada yang tak peduli. Yang terakhir, pada manusia yang tidak bisa merasakan sakit, masih harus memilih untuk bersyukur dengan menjalani kehidupan sebaik mungkin. Atau menjadi kufur karena merasa tak akan pernah sakit dengan menjadi sombong.
Pada setiap pilihan, selalu ada kosekuensi yang mengikuti. Begitulah kehidupan ini berlaku. Sayangnya, tak semua manusia memahami arti konsekuensi. Hanya sedikit yang berani berhadapan dengan konsekuensi tersebut.
Kesombongan yang dengan bangganya dipertontonkan, sejatinya menjadi gambaran diri yang menguarnya. Orang yang sombong, hatinya juga dipenuhi virus kebencian pada segala yang mengaburkan apalagi mengungguli yang disombongkan.
"Virus kebencian jauh lebih membunuh dibanding virus apa pun di muka bumi ini. Dan tidak ada satu dokter pun yang sanggup mengobatinya." Demikian kata dr. Gia Pratama.
Ketika seseorang merasa begitu banyak jasanya, tentu orang lain akan mempertanyakannya. Terlebih bila yang bersangkutan adalah seorang public figure. Setidaknya orang akan melihat dan membaca kembali jejak digital yang tak terhapus.