Pandemi tampaknya tak mengubah apa pun bagi banyak orang, selain sibuk memikirkan kelangsungan isi perutnya. Terbukti dengan semakin bertambahnya jumlah penderita. Bahkan kemarin (9 Juni 2020), kenaikannya mencapai rekor tertinggi yaitu 1049 orang positif hanya dalam satu hari.
Ironisnya, masih banyak yang tak percaya bahwa covid-19 bukan untuk disepelekan, dengan tetap beraktivitas tanpa menggunakan masker dan juga tak melakukan social distancing. Kebanyakan memang usia muda yang melakukan, seolah mereka semua kebal dan kuat. Tak membaca data bagaimana anak-anak juga sangat tinggi terdampak, selain orang tua. Lupa juga pada berapa banyak tenaga medis yang masih muda juga telah menjadi korbannya.
Bisa jadi, mereka menganggap enteng karena asak informasi, bukan hanya dari media seperti televisi, namun juga dari media sosial yang bertebaran hingga pesan berantai yang disalin dan diteruskan baik pada percakapan pribadi atau juga grup di WA, Tele dan lainnya.
Riuh dan gaduhnya negeri ini, juga tak lepas dari banyaknya jari-jemari yang tak henti menulis di linimasa tentang apa saja hingga menjadi viral. 'Karakteristik' tulisan dan pengguna media sosial juga beragam, dari Facebook, Twitter, Instagram, hingga Quora.
Hoaks berserak di mana-mana, karena bukan hanya akun manusia yang menulis, namun juga adanya akun-akun robot yang digerakkan oleh manusia menulis sesuai pesanan, demi sesuap nasi. Inilah hebatnya zaman kini, bahkan untuk berbohong, juga dibayar.
Bagi yang memahami dan mampu memilah serta memilih, mungkin tak jadi masalah. Tetapi tidak bagi yang lainnya, terutama yang memiliki PBM (Pemahaman Baca Menulis)nya rendah. Memahami tulisan saja kurang, tetapi langsung membuat kesimpulan. Juga orang-orang yang bersumbu pendek. Semua akhirnya menjadi riuh, dengan saling menuduh dan saling merasa paling benar.
Belum pernah rasanya terjadi kegaduhan yang luar biasa dan berkesinambungan di negeri ini seperti yang terjadi beberapa tahun belakangan. Saya yang juga memiliki akun media sosial, memilih menjadi 'pembaca' dibanding ikut terseret arus yang kuatnya luar biasa.
Membaca saja, rasanya lelah. Hingga sering saya puasa media sosial dan membaca buku sebagai gantinya. Jika ingin membuka, hanya sebentar sekadar tahu apa yang menjadi banyak perbincangan.
Masyarakat yang sehari-hari sudah susah, memilih masa bodoh dengan segala berita, mengingat begitu seringnya mereka mendapatkan berita hoaks. Mereka tak lagi pusingkan, hingga segala informasi tentang pandemi ini ikut apatis. Terlebih di perkampungan saya, yang hanya suka menonton sinetron, bola dan dangdut. Usai asar, walau wajah cantik dr. Reisa Broto Asmoro muncul, mereka tak peduli.
Karena kebetulan saya tinggal di dekat pasar tradisional kecil yang hanya buka hingga pukul 10 pagi, obrolan banyak orang di sana terdengar jelas. Bukan hanya itu, baliho besar di pintu masuk yang menulis "Kawasan Wajib Menggunakan Masker" pun seolah menjadi hiasan, tak ada kepedulian. Pengguna masker hanya sedikit, bahkan pedagang menolak diberi masker cuma-cuma dengan alasan sulit bernapas. Mereka lupa, bila terdampak covid-19 bukan hanya menjadi sulit bernapas, namun napas mereka juga akan hilang untuk selamanya.