Ini adalah buku pertama dari tetralogi 'Sang Pangeran'. Terdiri dari 30 bagian yang sebagian dikisahkan dengan alur maju mundur. Bukan hanya bercerita bagaimana perjuangan Sultan Abdul Hamid Diponegoro memimpin perang melawan penjajah selama lima tahun. Namun sisi-sisi lain yang belum tersentuh pada buku-buku sebelumnya tentang beliau ada di sini.
Secara keseluruhan, dari buku ini kita bisa mengetahui bagaimana pemikiran, adab dan kesalihan seorang Sultan Abdul Hamid Diponegoro, yang lebih dikenal sebagai Pangeran Diponegoro, yang di Makasar disebut dengan Karaeng Jawa atau Raja Jawa.
Pemikirannya jernih, cerdas disertai dengan adab terpuji dan kerendahan hati dibalik sikapnya yang teguh dalam memegang prinsip, terutama menyangkut agama yang beliau anut. Selalu mendengar saran para kyai, namun juga tahu mana yang harus digunakan atau tidak. Tak berpikir pada kepentingan diri sendiri. Pemikirannya seluas samudera, untuk kemaslahatan semua yang dipimpinnya.
Walau terlahir sebagai anak raja, tak pernah takut hidup dalam keterbatasan selama perjuangannya. Semua yang beliau lakukan selalu berlandaskan pada ajaran Islam. Dididik oleh seorang perempuan tangguh, Ratu Ageng, sejak kecil membuat beliau tumbuh sebagi pribadi yang kuat. Mumpuni dalam keterampilan berkuda, bertempur dan berstrategi.
Dalam perjuangan yang panjang, beliau tak pernah lupa untuk tetap bertafakur dan bermuhasabah. Gua Selarong adalah tempat kesukaan beliau untuk menyendiri, dan di sanalah beliau beberapa kali mengalami pengalaman spiritual.
Dakwah yang tak pernah lupa dilakukan di setiap pertemuan dengan para pengikutnya, juga nasihat bijak bagi setiap yang mengadukan masalah pada beliau. Cerdas, membumi, kharismatik dan dicintai rakyat.
Diselingi dengan kisah cinta antara dua Janissary terakhir dengan putri Fatmasari yang jelita. Cinta yang dipenuhi cinta, bukan sekedar nafsu untuk memiliki dan dimiliki. Juga kelucuan-kelucuan para pengawal setia masing-masing tokoh, membuat kisah semakin lengkap. Tak sekedar tempelan tanpa arti.
Banyak hikmah yang bisa disesap. Baik sebagai cermin untuk diri sendiri, juga lainnya dalam arti luas. Begitu juga hikmah yang terambil dari kisah cinta, kesetiaan, ketulusan, perjuangan dan juga pengkhianatan. Begitulah kehidupan yang fana ini. Ditulis begitu indah tanpa terkesan menggurui.
Secara keseluruhan, buku ini bagus dan lengkap. Kaya diksi. Kovernya juga menarik. Hanya ada kesalahan kecil, yaitu penyebutan nama pada halaman 399. Harusnya Basah Katib, namun yang ditulis Basah Nurkandam. Jika tak membaca dengan cermat, pasti sedikit membingungkan. eddddddd
Walau mengangkat kisah seorang pahlawan yang tak terlupakan, jangan berharap adanya luapan keseruan peperangan yang telah beliau jalani sepanjang lima tahun. Yang lebih melekat dari buku ini adalah bagaimana kepribadian Sang Pangeran secara utuh.
Satu twist yang tak terduga adalah dari kisah Cao Wan Jie.