Hari-hari ini kegaduhan cepat terjadi di manapun. Sebagian besar orang bersibuk mencari kelompok. Hingga muncullah banyak kejadian, di mana kelompok dimanfaatkan untuk jadi kepanjangan tangan beragam kepentingan. Anak-anak muda dengan hormon yang masih menggelegakpun turut mengangkat dirinya sendiri sebagai bagian elit kelompok tersebut.
Mereka diberi bekal agar punya keberanian bicara di manapun, terutama media sosial, walau tanpa data apapun, ilmupun sebatas gelar yang tanpa makna, karena banyak yang ngawur alias asal bicara plus menyebar kebohongan semata. Ironisnya, begitu banyaknya yang ikut bereaksi pada kebohongan demi kebohongan yang terus terjadi.
Maka keniscayaan gaduhpun tak terhindari.
Teladan baikpun ditenggelamkan oleh ego-ego kelompok yang merasa mendapat dukungan A dan B. Jadikan keramaian sebagai bagian keseharian. Bahwa diam itu emas, sudah tak lagi dipercaya. Bahwa'bicaralah yang baik atau diam'pun dianggap kuno. Kebebasan bicarapun melesat tanpa rem sedikitpun. Blong!
Ini tanggal 28 Oktober, di mana sumpah muda terjadi. Bahwa semua putra dan putri Indonesia bertekad ada dalam ikatan satu tanah air, bangsa dan bahasa, yaitu Indonesia. Entah di hati pemuda-pemudi mana gaung sumpah itu masih ada. Kebanyakan sudah tak lagi jadi pemuda/pemudi yang punya identitas diri sebagai Indonesia dalam banyak langkahnya.
Gaya yang dianggap kekinian, jadi puja-puji dalam langkahnya sehari-hari. Bahwa hedonisme, kebebasan berekspresi yang tak lagi berpagar hingga melecehkan apapun menjadi sebuah trend, segala hal jadi permisif bahkan masih pacaranpun sudah berdua kemanapun dan orangtua seolah tak punya fungsi lagi.
Pergaulan bebas hingga siswa yang masih di sekolah menengah pertama berombongan hamil diluar nikah tak menggelitik kesadaran sedikitpun bahwa ada yang salah dengan negeri ini. Melupakan sejarah dianggap 'biasa', bahkan kebenaran sejarahpun dipertanyakan untuk sebuah pembenaran versi mereka.
Entah tanah air mana yang mereka pijak, jika sedikit saja terjadi gesekan perbedaan, yang satu merasa berhak untuk mengusir yang lain. Entah bangsa yang mana kini yang mereka banggakan ketika segala branded luar lebih dianggap bergengsi dari segala hasil karya anak bangsa sendiri, pun bahasa mana yang sekarang mereka gunakan ketika segala umpatan dan bahasa yang jauh dari kesantunan telah dijadikan kebiasaan terucap setiap harinya.
Lalu mereka ingin disebut sebagai generasi kuat yang membanggakan?
Kuat pada apa, jika kemampuannya hanyalah meniru segala sesuatu yang datang dari luar tanpa perlu disaring. Lihat bagaimana segala produk luar seolah memperbudak mereka untuk selalu mengikuti hanya karena ingin dilabeli sebagai anak zaman now. Terombang-ambing dengan kata-kata indah sok bijak yang menyesatkan. Jargon yang hanya sekedar tempelan mulut, dan kebohongan yang terus didengungkan. Lalu di manakah kepribadian mereka?
Masihkah pantas disebut ketimuran, jika dengan bangga mempertontonkan diri berduaan di kolam renang dengan setengah telanjang bersama yang bukan pasangan resminya dan dipajang untuk ditonton jutaan mata.