Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memaknai Kata Baik

1 Mei 2018   16:48 Diperbarui: 1 Mei 2018   17:10 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rasanya hampir semua orang inginnya dikenal atau setidaknya dianggap sebagai orang baik. Itulah kenapa ada sebutan orang baik-baik, keluarga baik-baik, perempuan baik-baik dan sebagainya. Hampir setiap hari kita dapatkan bagaimana banyaknya seliweran tentang beragam berita yang menyandingkan kebaikan dan keburukan, film yang selalu berujung pada bagaimana kebaikan selalu jadi pemenang, linimasa dunia maya yang juga dipenuhi dengan status kebaikan.

Lalu dengan  begitu yakinnya sebagian orang mendeklarasikan diri sebagai manusia yang baik, pejuang kebaikan, pembela kebaikan dan apapun slogannya, semua ada kata 'kebaikan' yang diusung. Baik secara implisit ataupun eksplisit.

Sungguh suatu kemuliaan bila semua konsisten dalam berbuat baik. Tak hanya saat dalam kelapangan, pun ketika berada dalam kesempitan. Sayangnya kebaikan yang mereka tuliskan, katakan ataupun di gembar-gemborkan, banyak yang terpanggang hingga gosong oleh kelakuan mereka sendiri. Dengan beragam laku yang jauh dari nilai kebaikan yang mereka dengungkan.

Sebenarnya apa makna kata baik itu sendiri? Jikapun baik, menurut siapa? Lalu niat apa yang terselip saat berbuat baik, adakah untuk diri sendiri, karena Allah ataukah ada tujuan lainnya?

Makna kebaikan begitu luasnya. Perhatian sekecil apapun bila  diniatkan baik, maka akan bernilai besar bagi yang menerimanya. Tanpa terkait pada suku, agama, juga ras. Misalnya menyingkirkan penghalang di jalan agar tak ada yang mendapat celaka, itu kebaikan. Membebaskan sumbatan di got, sungai ataupun yang lain, itupun kebaikan. 

Membuang sampah sekecil apapun ke dalam tempat sampah itupun kebaikan. Bukan membuang seenaknya karena merasa itu tugas dari petugas kebersihan. Seringnya kita hanya mau melakukan kebaikan yang menguntungkan diri sendiri, bukan untuk orang lain.

Lalu jika sudah merasa diri baik, itu menurut siapa? Karena apa? Tetangga bisa saja menilai kita baik karena kita tak pernah mengganggunya, suka memberi mereka makanan, ataupun yang lain. Sementara di luar, kita jahil pada orang lain, apatis pada keadaan, di tempat kerja juga semena-mena memperlakukan orang. 

Apa yang menurut orang lain baik, belum tentu menurut kita baik. Sebagaimana yang diberikan Allah, yang hanya memberi hal terbaik, tapi banyak yang tak percaya dan mengeluh hanya karena tak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Di sinipun kita bisa melihat, bahwa apa yang baik menurut Allah, belum tentu dianggap baik oleh manusia. Maka, kebaikan mana yang anda imami? Menurut Allah atau menurut manusia?

Lalu niat apakah yang terselip saat anda berbuat baik? Untuk diri sendirikah atau berharap pujian? Karena banyak sekali manusia yang bukan hanya menyukai pujian, namun selalu berharap pujian atas segala perbuatan yang mereka lakukan. Itulah kenapa di media sosial selalu diselipkan tanda cinta, like dan apapun yang sifatnya adalah pujian. 

Mendapat banyak like karena foto keelokan rupa yang membuatnya makin terpicu untuk mengunduhnya terus. Juga keinginan dianggap baik dan religius dengan terus menulis ayat, penggalan quotes dan sebagainya yang hanyalah sebuah copi paste tanpa makna karena di kehidupan nyata semua bertolak belakang. Banyak manusia sekarang yang tak merasa percaya diri bila belum mendapat banyak pujian.

Jika meniatkan kebaikan untuk Allah semata, maka akan banyak yang melakukan tanpa diketahui siapapun selain Dia, tentu saja. Inilah salah satu ciri orang yang ikhlas yang tak pernah menggembar-gemborkan keikhlasannya apalagi memamerkannya dengan menyebut-nyebut berapa banyak dia memberi, berapa banyak dia berbuat. Manusia seperti ini tak banyak.

Yang sebaliknya, meniatkan kebaikan yang dia lakukan dengan tujuan mendapatkan sesuatu alias pamrih, ini yang terbanyak berada dalam kehidupan. Memuji-muji orang di mana pujian itu tak ada sedikitpun pada yang bersangkutan, menjilat penguasa demi mendapatkan jabatan, membela orang agar disebut pahlawan atau mencari ketenaran. Tak akan cukup menuliskan manusia-manusia dengan karakter seperti ini.

Lihat baik-baik, berapa banyak orang yang dahulunya dianggap baik karena kepeduliannya pada orang lain yang mengalami ketidak adilan, karena kesulitan hidup atau karena ingin kaya dengan cara cepat, tiba-tiba berubah haluan tersebab menemukan jalan mudah menumpuk materi. 

Begitu hidupnya nyaman, dia tak lagi punya kepedulian. Tak terusik sedikitpun walau nampak di depan hidungnya karena ketakutan-ketakutan yang belum tentu terjadi. Terlanjur merasakan kursi empuk, hingga lupa bagaimana bangkit untuk berdiri pada perjuangannya sendiri.

Siapa sih yang tak ingin dianggap baik? bahkan penjahat paling kejam sekalipun tak mau dinilai buruk dengan berdalih atas segala yang dia lakukan karena ini dan itu. Meminta dimaklumi, meminta dipahami.

Kebaikan itu ada bersemayam dalam tiap diri, karena juga sebuah fitrah. Namun kebaikan banyak tergerus dengan nafsu yang dituruti, nafsu yang tak pernah dididik, nafsu yang tak dikendalikan. Bukankah kejahatan atau keburukan itu lebih mudah menular dibanding kebaikan?

Boleh merasa diri baik, namun jangan sampai ke'merasa'an ini jadi boomerang saat aliran pujian kebaikan anda begitu deras didapat. Jangan sampai merasa baik ini membuat anda sebagai manusia yang sempurna hingga merasa punya'hak' untuk menjadi hakim bagi yang lain.

Kewajiban saling mengingatkan itu memang ada. Tetaplah dalam koridor yang baik dan beretika. Bukan dengan berkoar tanpa rasa bersalah menebar aib orang lain penuh kebanggaan karena merasa lebih tahu, merasa lebih baik dan merasa lebih sempurna. Selain berefek negatif terhadap target yang diumbar aibnya, Allah juga akan memberikan dosa terhadap orang yang suka menceritakan aib orang lain.

Bagaimanapun beratnya hidup yang kita rasakan, teruslah berbuat baik, walau tak mendapatkan apapun dari manusia, bahkan mungkin saja diperlakukan sebaliknya. Niatkan semua hanya untuk Allah, maka balasan kebaikan yang akan anda terima jauh melebihi yang mampu diberikan manusia. Yakinlah selalu, matematika Allah adalah yang terbaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun