Mohon tunggu...
Rina R. Ridwan
Rina R. Ridwan Mohon Tunggu... Penulis - Ibu yang suka menulis

Pembelajar Di Sekolah Kehidupan Novel: Langgas (Mecca, 2018) Sulur-sulur Gelebah (One Peach Media, 2022) Kereta (Mecca, 2023) IG: rinaridwan_23

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tayangan Anak Layangan

25 Maret 2018   08:36 Diperbarui: 25 Maret 2018   09:29 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
manado.tribunnews.com

Bertahun-tahun saya sekeluarga  tak pernah lagi menonton televisi nasional. Hingga tak jarang, kami tak tahu apa-apa yang sedang hits, bahkan bila bertemu para pelakon sinetron atau selebritis yang terkenal, kami mungkin tak akan tahu apalagi mengenalnya.  Kami penggemar sepak bola, jadi bintang lapangan hijau lebih kami kenal daripada bintang lainnya.

Bila bertemu ibu-ibu penggemar infotainment atau sinetron, saya pasti gagap dan memilih diam, karena memang tak mengerti apa yang mereka katakan. Saya lebih suka membaca, baik membaca buku ataupun membaca berita di media online. Dari sana juga saya jadi tahu bahwa akhir-akhir ini terjadi pro kontra soal acara 'alay'.

Wikipedia menulis bahwa Alay adalah sebuah istilah yang merujuk pada sebuah fenomena perilaku remaja di Indonesia. "Alay" merupakan singkatan dari "anak layangan". Istilah ini merupakan stereotipeyang menggambarkan gaya hidup norak atau kampungan.

Ada yang menyebut bahwa banyak sekali tontonan televisi yang alay. Entah yang mana tepatnya, karena ada banyak stasiun TV nasional, juga daerah. Apakah tontonan yang hanya dipenuhi unsur 'haha-hihi' ataukah tontonan yang ada unsur klenik ataukah sinetron? Tentu saja saya tahu jenis ini beberapa tahun yang lalu yang membuat saya berhenti menonton TV nasional. Rasanya itu sudah lama terjadi, jika baru sekarang jadi ramai mungkin karena sudah masuk kategori bosan dalam bahasa halusnya atau bikin eneg.

Jika merujuk pada kata 'menggambarkan gaya hidup norak atau kampungan', rasanya pembawa acara di TV tak ada yang penampilannya norak. Semua baju yang dipakainya biasanya dari perancang mode atau brand tertentu. Gaya bicara dan pemikiran mungkin saja. Selain itu lanjutan dari Wikipedia tadi, alay merujuk pada gaya yang dianggap berlebihan (lebay) dan selalu berusaha menarik perhatian. 

Jika tak berusaha menarik perhatian, tak akan dapat rating dong. Bukankah TV nasional selalu berdalih bahwa rating adalah penentu sebuah acara akan bertahan lama atau tidak.

Sudah jadi rahasia umum bahwa memang banyak program TV yang tak punya tuntunan sama sekali. Asal ngobrol dengan bintang tamu terkenal, lalu melakukan gerakan-gerakan konyol yang tujuannya agar membuat penonton tertawa, lalu sudah. Program yang tak berprogram. Tak ada yang bisa diambil manfaatnya sama sekali. Apalagi dengan acara lucu-lucuan yang saling mengejek bentuk fisik atau kata-kata alay yang entah di mana unsur kelucuannya.

Bahkan untuk acara bincang-bincangpun, yang awalnya bagus, makin lama biasanya terjerumus juga dalam kekonyolan. Tak ada yang konsisten seperti Oprah Winfrey Show yang bukan hanya menghibur, namun juga ada pelajaran yang bisa kita dapatkan setelah melihatnya.

Jika banyak program alay sukses dan terus dibuat atau dilanjutkan, bisa jadi gambaran dari masyarakat kita sendiri yang memang masih seperti itu. Yang selalu berdalih untuk refreshing dan penghilang stress. Entah refreshing atau stress karena apa. Yang banyak orang tahu, budaya senang dengan hari libur yang sepanjang apapun masih kurang, mengulur-ulur  waktu istirahat kantor, mencari-cari alasan saat terlambat,  suka gratisan dengan ditraktir atau hadiah, sudah melekat di masyarakat kita. Intinya, masyarakat kita masih banyak yang malas, terutama malas mikir.

Hampir semua orang bisa membaca, namun untuk memahami bacaan, masih sangat rendah. Hingga mendengar berita apapun mudah sekali bereaksi. Padahal baru membaca 'headline'nya, tak sampai tuntas, atau mencoba memahami dengan baik, namun sudah langsung berkoar menyimpulkannya begitu panjang melebihi panjangnya berita itu sendiri. Maka tak perlu heran, mereka tak banyak yang mampu membedakan berita hoaks atau berita yang benar.

Menurut beberapa teman yang juga kurang menyukai acara tersebut, pembawa acaranya sebenarnya cukup terpelajar. Apa tak ada rasa risih atau bersalah menyebar sesuatu yang tak ada manfaatnya selain membuat orang cengengesan. Saya pribadi lebih suka acara televisi dulu yang masih banyak menayangkan serial asing yang menghibur,  yang mungkin juga alay, namun setidaknya kita jadi terbiasa mendengar bahasa asing agar tak gagap bicara bahasa internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun