Suatu hari, ada seorang guru masuk kelas dimana dia  seharusnya mengajar, namun dia dapatkan kelas dalam keadaan kosong. Tak ada satupun murid di sana yang menantinya sebagaimana layaknya. Sang guru yang telah mengajar di sekolah tersebut penuh pengabdian selama puluhan tahun,  tetap masuk dan berharap ada muridnya yang datang. Namun ternyata sia-sia, karena hingga jam pelajaran berakhir kelas itu tetap tak di masuki satu orang muridpun.
Sang guru adalah pengajar pelajaran bahasa daerah. Karena sekolah itu adalah sekolah negeri, tentu saja murid yang belajar dari beragam suku dan daerah. Yang diajarkan sang guru adalah bahasa daerah setempat.
Rupanya murid-murid yang sebagian besar telah terbiasa berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris sejak kecil, merasa pelajaran tersebut sulit dan dianggap tak penting untuk masa depan mereka. Ditambahkan lagi, menurut mereka cara mengajar guru tersebut kurang menarik dan membosankan.
Mendengar cerita di atas, saya merasa cukup sedih. Membayangkan bagaimana perasaan sang guru tersebut, dan membayangkan yang lebih besar lagi yang bisa saja terjadi, punahnya bahasa daerah karena keengganan anak jaman now untuk mempelajarinya. Mereka kurang menyadari bahwa bahasa daeran adalah juga asset dari sebuah bangsa. Sesuatu yang unik, yang mungkin nantinya akan lebih banyak dipelajari orang asing daripada anak negeri sendiri.
Dari hasil Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, ada 748 bahasa etnis yang dimiliki Indonesia yang sewaktu-waktu bisa punah. Hal ini diakui oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Saat bersekolah dulu, saya juga mendapatkan pelajaran bahasa daerah. Bagi saya cukup menyulitkan memang namun tak pernah saya menghindari ataupun pergi meninggalkan kelas seperti apa yang dilakukan murid jaman sekarang. Dari kecil sudah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama, hingga menjadi sedikit kesulitan dengan bahasa daerah sendiri.
Menurut Asim Gunarwan, seorang guru besar yang mengambil M.Sc, Ph.D, dari Georgetown University, punahnya bahasa daerah bisa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: penuturnya berjumlah sedikit, tidak adanya estafet penggunaan bahasa terutama dari kelompok sosial terkecil yaitu keluarga, dan pemerintah yang kurang berperan dalam melestarikannya.
Mari kita sedikit melihat dari beberapa sudut pandang tentang perlu tidaknya bahasa daerah. Bahasa daerah biasanya masih digunakan sebagai bahasa utama di desa ataupun kampung, namun tidak bagi yang tinggal di kota besar. Orang kota beranggapan bahwa bahasa daerah hanya untuk dipakai antar keluarga dekat saja, bukan dalam pergaulan sehari-hari karena di kota penduduknya yang heterogen. Bisa sangat dipahami. Sementara di desa atau kampung, ada kecenderungan masyarakat kita tinggal berkelompok dengan orang-orang yang berasal dari daerah yang sama, hingga bahasa daerah masih subur digunakan di sana.
Seperti kita ketahui, beberapa bahasa daerah punya jenjang atau tingkatan bahasa. Seperti dalam bahasa Jawa misalnya ada bahasa Jawa ngoko, ada bahasa Jawa kromo, dan yang kromopun masih punya tingkatan lagi. Â Bahasa daerah di kota biasanya yang digunakan hanyalah yang umum saja, bukan yang dalam tingkatan berbeda. Sementara dalam pelajaran bahasa daerah di sekolah, lebih banyak diajarkan bahasa yang tingkatnya di atas bahasa sehari-hari ataupun umum. Konsekuensinya, banyak yang asing dan mendapatkan kesulitan.
Belum lagi adanya huruf khusus penulisan bahasa daerah, yang juga diajarkan. Tentu saja menambah beban bagi mereka, para murid. Terlebih bila murid tersebut bukan berasal dari bahasa daerah yang diajarkan. Sementara jam pelajaran bahasa daerah juga termasuk sedikit, sehingga tentu saja berharap para murid bisa menguasainya dalam keterbatan waktu tersebut tentu tak bisa terlalu banyak.
Begitupun faktor pengajar atau sang guru. Diakui atau tidak juga akan membawa pengaruh. Bila gaya mengajarnya tak bisa menyesuaikan jaman, maka kemungkinan terjadi seperti cerita saya di atas akan terus berulang. Bagaimanapun, setiap jaman itu berbeda. Murid jaman dulu bisa jadi adalah murid paling patuh dan tak punya banyak keberanian melakukan protes apalagi walk out. Sementara sekarang, dengan derasnya segala informasi dan derasnya pengaruh budaya dari segala arah, maka pendekatan mengajarpun harus bisa menyesuaikan bila ingin mendapatkan respect dari para muridnya.