Rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia masih menjadi permasalahan yang dihadapi hingga saat ini. Berdasarkan berbagai survei, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh lembaga non-pemerintah, skala nasional maupun internasional menunjukkan tingkat literasi kita masih sangat rendah.
Misalnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang merilis Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) pada tahun 2019. Hasil analisis menunjukkan bahwa indeks Alibaca rata-rata nasional masih sangat rendah, hanya mencapai 37,32%.
Pada tahun yang sama, Program for International Student Assessment (PISA) yang diterbitkan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mengungkapkan bahwa Indonesia berada di peringkat 62 dari 70 negara yang disurvei. Itu artinya Indonesia masuk dalam 10 negara dengan tingkat literasi rendah dari beberapa negara yang disurvei.
Lalu, dari gambaran di atas apakah keadaan literasi kita memang demikian adanya?
Sebagai seorang pustakawan yang telah berkecimpung dalam aktivitas literasi selama empat tahun terakhir, saya melihat bahwa data tersebut mencerminkan realitas, mengingat minimnya kegiatan literasi dan kurangnya minat dari masyarakat.
Saya melihat bahwa upaya peningkatan literasi di lapangan masih dilakukan dengan kurangnya komitmen yang serius. Coba perhatikan, berapa persen perpustakaan yang menyediakan layanan terbaru?
Berapa banyak perpustakaan yang mengadakan peningkatan layanan, terutama setelah pandemi Covid-19?
Fenomena perpustakaan yang terlantar, tak terurus, dan diabaikan sudah menjadi pemandangan umum, terutama di daerah. Ini berlaku untuk perpustakaan sekolah, perpustakaan umum daerah, perpustakaan khusus, bahkan perpustakaan perguruan tinggi hampir menghadapi situasi yang sama.
Perpustakaan sekolah merupakan jenis perpustakaan terbanyak secara kuantitas, disisi lain paling banyak pula tidak mendapatkan perhatian dengan serius. Perpustakaan umum yang dikelola oleh pemerintah daerah juga menghadapi situasi yang serupa. Meskipun ada, tampaknya kurang mendapatkan perhatian dan kurang bergairah. Bahkan penempatan pustakawan profesional sering kali minim, atau bahkan sama sekali tidak diperdulikan atau diabaikan.
Demikian pula halnya dengan sekolah, beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan kunjungan siswa/siswi dari berbagai sekolah negeri, rata-rata Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian saya bertanya kepada mereka bagaimana peningkatan literasi di sekolah masing-masing.
Dalam penuturan yang mereka sampaikan, masih terdapat kesulitan akses ke sumber literasi yang meliputi buku, perpustakaan, fasilitas pendukung seperti komputer dan lainnya.